Anak Kampus CPC - Support us

Minggu, 11 November 2012

Perjalanan dan Percakapan Opa Dimba

Tau Beres.
Diskusi Ngkai dengan beberapa pejabat di Poso dan Mori, hanya mendatangkan stress dan frustrasi, karena kebanyakan dari mereka berpikiran jangka pendek, berharap dapat sesuatu untuk seketika. Yang dipikirkan lebih pada keuntungan diri dan keluarganya daripada kepentingan masyarakat atau publik Poso atau Mori.

Setali tiga uang atau sama saja, ketika Ngkai bertemu beberapa tokoh masyarakat, rata-rata mereka mengeluhkan sedikitnya perhatian pemerintah dan masih sangat berharap dukungan dan pendampingan pemerintah. Bagai balita, mereka masih menunggu kucuran tangan pemerintah untuk membagikan uang bantuan. Kecewa juga dengan kenyataan pemikiran begitu, yang belum beranjak dari mentalitas minta-minta dan selalu merasa tidak berdaya.

Ketika di Tentena, Ngkai berdiskusi dengan beberapa tenaga akedemis dari perguruan tinggi setempat, salah seorang yang merasa sudah jadi tokoh dan bergelar akademis di depan dan belakang namanya, malah merasa tak perlu lagi diberi masukkan. Baginya silahkan saja siapa saja boleh datang berinvestasi apa saja di bidang perkebunan atau pariwisata, tambang, tidak persoalan.
Yang penting bagaimana pembagiannya. Berapa untuk investor, berapa untuk masyarakat serta yang paling penting, tentu, berapa untuk dia pribadi dan para sahabatnya, yang akan memediasi proses informasi, perijinan antara perusahaan dengan pemerintah setempat. Semua disampaikan, tanpa risi, malu serta dijelaskannya secara pajang lebar dan mendalam sambil tertawa-tawa. Masya Allah !.

Walau Ngkai mencoba jelaskan dengan pakai contoh nyata, mengenai masyarakat sekitar perkebunan di beberapa kabupaten di Kalimantan, yang masyarakat desanya mulai sejahtera, ternyata tidak mampu mencerahkan para pejabat, tokoh masyarakat dan akademisi. Kecenderungan untuk TAU BERES, yang penting sekarang ini, tak lagi menginspirasi untuk sadar dan bersemangat. Preeeet !.

Jika para tokoh sudah berpola pikiran begitu, gimana pula dengan masyarakat banyak yang awam. Masyarakat yang sudah terbiasa hidup dalam suasana subsisten bagai ekonomi ayam, cakar makan, cakar makan, tanpa tabungan dan investasi masa depan ?. Masyarakat yang hidup dalam pola mie instan, sulit diajak berpikir jauh kedepan. Maunya apa-apa siap saji, minta disuapi terus terusan. Tidak perlu berusaha dan kerja keras, cukup mangap. Ane pura, perapi-perapi wou.
Karenanya, semangat otonom daerah akan jauh panggang dari ikan. Partisipasi, inspirasi dan swakarsa masyarakat jangan harap bisa bertumbuh dan menyemangati pengembangan masyarakat. Tidak akan terjadi proses pemberdayaan masyarakat, malah masyarakat balik akan tetap diperdaya.

Bila logika Tau Beres ini benar, maka kita perlu antisipasi dan segera cari jalan keluarnya. Untuk itu perlu dibereskan kembali dengan pendekatan yang terukur yang membawa dinamika dan inspirasi. Prilaku sentralistik, struktural, pendekatan top-down perlu diarahkan ke suasana pelayanan masyarakat yang de-sentralistik, non struktural serta bottom-up.

Semua aparat birokrasi harus diisi kembali dengan roh moral yang benar, roh yang berasal dari visi misi kolektif komunal yang lebih bernuansa masa depan. Tanggalkan roh jahat yang mengedepankan kepentingan keuntungan pribadi, tidak punya nurani rasa malu untuk berbuat maksiat.
Juga masyarakat dipersiapkan secara serius untuk menyongsong masa depannya masing-masing, sesuai kodrat, potensi dan segala sumberdaya yang dimilikinya.Tinggalkan mental minta-minta dan merasa tidak berdaya.
Karakter kotor berlogika Tau Beres, jelas tidak akan pernah memberdayakan masyarakat dan kontra produktif dengan usaha pengembangan masyarakat untuk hidup mandiri.
Tulisan Dimba Tumimomor di Facebook (11 Juni 2012)