Anak Kampus CPC - Support us

Minggu, 22 September 2013

ArtAbstract~Adriani Galry Adoniram Tobondo

Women Cry by Adriani GA Tobondo
The Planet 2 by Adriani GA Tobondo
The Legend of Sumanto by Adriani GA Tobondo
 Erotic Critical Art -  Mahluk Tuhan Terindah by Adriani GA Tobondo

MEMBONGKAR RAHASIA JOKOWI UNTUK CALON-CALON POLITISI DI LEMBAGA EKSEKUTIF (PEMERINTAH DAERAH) DAN LEMBAGA LEGISLATIF (DPR)



Gubernur DKI Jakarta, Jokowi, pria yang dulunya Bupati Solo Jawa Tengah tak pernah turun ratting-nya. Terakhir kali saya membaca berita media Tutup Rakernas, Mega Tolak Foto Salaman dengan Jokowi. Bagian terakhir berita itu : “Saat itu, posisi Jokowi berada di belakang Mega, Puan dan salah satu kader. Salah satu kader tersebut mengucapkan "Bu diminta salaman sama Pak Jokowi," ucap kader tersebut. Namun, entah kesal karena permintaan tersebut, Mega enggan melakukan dan berujar pelan "Udah, enggak usah," ucap Mega di atas podium” [1]
Masih seputar Jokowi, Perdana Putra menulis di kompasiana SBY Bombardir Jokowi dengan Strategi Perang Kota : “….Program pengadaan ribuan Bus sebagai transportasi masal pun harus segera dihentikan atau setidaknya di hadang dengan berbagai cara, sampai akhirnya merekapun menerapkan regulasi yang rumit dan berbelit hanya untuk menghadang pengadaan ribuan bus transportasi masal tersebut. Alhasil, Proses pengadaan ribuan bus tersebut tidak mendapat persetujuan dari pusat dengan berbagai alasan yang systemic. Pengadaan yang rencananya sekitar 1400 bus untuk penambahan dan peremajaan transportasi umum itupun harus tersendat dan hanya akan terealisasi sekitar 400an bus dengan berbagai alasan dan regulasi systemiknya yg disusun secara berbelit. Tak cukup hanya disitu, Pemerintah pusat pun sekarang mulai gencar membombardir Jokowi dengan kekuatan supernya, dengan kapasitas penuh dan dengan ledakan tak terhingga, dengan diterapkannya mobil murah LCGC dengan alasan lingkungan. Mereka tidak lagi perduli bahwa kapasitas Jalan raya sekarang sudah sangat tidak sebanding dengan jumlah kendaraan yang beredar di jabodetabek. Mereka tidak lagi perduli peningkatan konsumsi BBM yang sekarang saja kita sudah sangat minus dan harus mengimpor ratusan ribu barel per hari, Mereka juga tidak perduli bahwa dengan makin besarnya import BBM sangat berpengaruh pada semakin ambruknya nilai tukar rupiah yang sudah sangat tertekan dan terpuruk. Semua itu karena mereka sudah panik, dan dalam kepanikan itu, mereka tidak lagi perduli apakah balita atau anak-anak yang akan menjadi korban dari bombardir  mereka yang mereka tujukan langsung dipusat kota….”[2]
Bagi sebagian orang tentu penasaran dan ingin mencari tahu bagaimana seorang Jokowi dan bagaimana Jokowi itu populer?
A.  Trend Pasangan Politik Beda Agama
Keputusan berpasangan dengan Ahok yang beragama Kristen sebagai Calon Wakil Gubernur kala itu., harus diberikan apresiasi besar bahwa ini menunjukkan Jakarta daerah yang pluralis dan hal ini juga menggambarkan bahwa masyarakat Indonesia telah berubah sikap menjadi lebih terbuka serta menerapkan pluralitas itu pada berbagai perilakunya baik perilaku politik atau perilaku sosial. Sebelumnya, Gubernur Jakarta dipimpin oleh Hendrik Hermanus Joel Ngantung atau disapa akrab Henk Ngantung beragama Kristen dari Sulawesi Utara. Bahkan AA. Baramuli yang beragama Islam menjadi Gubernur kemudian disusul Abdullah Amu di Sulawesi Utara yang mayoritas agamanya Kristen.
Perkembangannya, sejumlah kasus dan fenomena yang mengancam pluralitas di Indonesia sedikit menenggelamkan trend setting politik dalam pemasangan calon kandidat di lembaga eksekutif. Meski demikian, kasus dan fenomena yang mengancam pluralitas itu juga dinilai bagian dari residu (pemicu) kesadaran masyarakat secara langsung (yang merasakan) atau secara tidak langsung misalnya efek negatif yang dialami masyarakat ketika terjadi beberapa kasus pada tataran makro dimana masyarakat juga menjadi korban dari perseteruan berlatarbelakang SARA.
Dalam beberapa masa, calon kandidat berasal dari agama minoritas kurang kuat secara politis tetapi pada masa berikutnya seorang calon kandidat beragama minoritas bisa diorbitkan seperti fenomena besar dari kemenangan Jokowi-Ahok.
Kemenangan Jokowi-Ahok masa-masa krisis pluralitas di Jakarta (atau umumnya daerah NKRI) itu merupakan sesuatu hal yang luar biasa untuk area Jakarta. Trend ini sepertinya diambil dan diterapkan oleh pasangan kandidat Presiden dan Wakil Presiden NKRI mendatang, Wiranto dan HT.
B.  Branding Politik Figur
Branding politik (baca : melabelkan politik) membutuhkan ketelitian, analitis dan kritis serta cermat membaca masalah dan kebutuhan masyarakat termasuk pandangan masyarakat terhadap kehidupan sekitar. Branding politik tidak dilakukan dengan pendekatan politis tetapi lebih kepada pendekatan sosial, budaya dan ekonomi yang seluruhnya disajikan secara konkret tanpa melakukan pembohongan publik terkait sisi dari profil yang akan dijadikan branding. Singkatnya, branding politik tidak membodohi dan membohongi masyarakat ketika sedang berpromosi “dagangan politis”. Branding politik lahir dari pendekatan marketing sosial (pemasaran sosial) suatu teknik tingkat tinggi untuk melembagakan program dan kegiatan, kebijakan, sosialisasi-sosialisasi, proses melembagakan kesadaran, pesan-pesan sosial lainnya. Anatomi (tubuh) Branding politik seluruhnya adalah fakta (data) dari figur politik (aktor) yang akan dipromosikan.
C.  “Selebriti Plat Merah”
Mudah-mudahan kita masih ingat beberapa berita yang pernah menayangkan politik blusukan[3] dimulai dari Jokowi ketika masih menjabat sebagai Bupati Solo. Justeru politik blusukan mampu mengantar Jokowi menjadi Gubernur DKI Jakarta, Jokowi sendiri memilih politik blusukan daripada lobi politik.[4]
Trend politik blusukan Pasca Jokowi-Ahok semakin gencar dilakukan oleh para politisi, tak heran mereka sering melakukan hal-hal yang bersifat fenomena bagi seorang politisi seperti yang dilakukan Ridwan Kamil, Walikota Bandung ketika mengendarai sepeda ke kantor Balai Kota Jalan wastu Kancana dari rumahnya di kawasan Cigadung dan menjadi sopir angkota umum.[5]
Penggunaan media sosial misalnya facebook, twitter dan youtube serta seluruh aksi diliput media cetak, radio dan televisi akan membentuk pandangan masyarakat yang berimbas positif bagi seorang politisi. Tetapi jika kemasan Branding politik-nya kurang matang, maka tentu berdampak pada cemohan yang akan diperoleh seorang politisi.
Demikian sekiranya ini berarti bagi para calon kandidat yang akan berkompetisi pada Laga Politisi dalam Pemilihan Umum Tahun 2014 baik tingkat Kabupaten, Propinsi dan Pusat dilingkup lembaga Eksekutif dan Legislatif (atau bahkan Yudikatif jika ada proses sama seperti itu).
Selamat mencoba!

Adriani GA Tobondo

Praktisi Branding Politik dan Pengamat Sosial.
Kandidat Doktor Studi Pembangunan:
bidang kosentrasi Relasi Sosial (Interrelasi dan Multirelasi),
Kebijakan dan Pembangunan Sosial
 




[1] http://www.merdeka.com/politik/tutup-rakernas-mega-tolak-difoto-salaman-dengan-jokowi.html
[2] http://politik.kompasiana.com/2013/09/20/sby-bombardir-jokowi-dengan-strategi-perang-kota-594242.html
[3] Politik Blusukan sering diartikan sebagai terjun langsung dilapangan
[4] http://www.metrotvnews.com/metronews/read/2013/09/15/5/181669/Jokowi-Pilih-Blusukan-ketimbang-Lobi-Politik
[5] http://sosok.kompasiana.com/2013/09/20/ridwan-kamil-seleb-plat-merah-rival-baru-jokowi-591515.html

Sabtu, 21 September 2013

MASA DEPAN POSO ADA DITANGAN SIAPA? Kisi-kisi Sosiologi dalam Memilih Pemimpin



Dalam kapasitas sebagai Pengamat Sosial., SAYA belum melihat masa depan Poso sehingga wajar jika bertanya “siapa yang berperan kuat memberikan jaminan bagi terwujudnya masa depan Poso sesuai harapan bersama”.
Pastinya jawaban yang muncul itu beraneka-macam, (1). seorang Kepala Daerah akan menganggap bahwa ini sangat ditentukan oleh besaran Pendapatan Asli Daerah dan kinerja instansi pemerintah setempat yang terkoordinasi secara baik. Itu juga dipandang benar!
Jawaban berikutnya : (2). masyarakat akan memandang bahwa ini sangat ditentukan oleh kecakapan Kepala Daerah dan Instansi pemerintah setempat untuk terpanggil menata masa depan Poso akan datang. Itu juga dinilai benar!
Jawaban versi lainnya : (3). kelompok akademisi dan praktisi sosial mengemukakan pemikiran bahwa seluruhnya tergantung hubungan internal masyarakat dan hubungan eksternal masyarakat yang ditunjang oleh kemampuan memfasilitasi hubungan-hubungan tersebut baik oleh perangkat eksekutif maupun perangkat legislatif. Ini juga tidak salah!
Disisi lain, kemungkinan jawaban yang akan muncul seperti ini : (4). semuanya tergantung dari para aktor (eksekutif, legislatif dan aktor diluar struktur formal misalnya tokoh masyarakat), mereka banyak relasi tidak? Kalau tidak, maka sulit bagi Poso untuk meraih masa depannya. Mmmmm….. ini ada benarnya!
Masa depan wilayah tak selamanya tergantung dengan uang!
Ada sejumlah kasus (pembelajaran) yang ingin SAYA paparkan disini dan hal tersebut menunjukkan bahwa uang tidak selamanya menentukan masa depan. Sebaliknya justeru terjadi bahwa uang menimbulkan banyak masalah.
Berbicara mengenai modal membangun berarti kita akan melihat ragam potensi lokal dan potensi terbesar itu ialah modal sosial yang diartikan sebagai ikatan komunal yang kuat berbasis karakter sosial budaya pada masyarakat setempat. Kita pasti mengenal lebih baik modal sosial itu, beberapa kelompok sosial mengenalnya dalam bentuk saparan, merti dusun, jagongan bayi, tirakatan, posintuwu dan mesale. Dalam agama misalnya agama Islam mengenal sebagai bentuk gerakan Al-Tadjid dan Al-Ma’un serta agama Kristen memiliki basis modal sosial dikenal dengan bentuk Hukum Kasih.
SAYA pribadi tertarik untuk mempelajari modal sosial diawali oleh pemikiran mendasar tentang kemiskinan. Asumsinya sederhana, jika orang dikatakan miskin dengan berbagai kriteria (khususnya tidak memiliki penghasilan yang pasti) seharusnya jumlah orang miskin akan berkurang bukan karena mereka sudah sejahtera tetapi karena kematiannya. Logikanya mudah, orang miskin tidak memiliki banyak uang sehingga sulit untuk bertahan hidup sehingga mereka tidak mungkin bertahan lama. Sebaliknya, orang miskin bertambah banyak dan mereka tetap eksis dipermukaan sosial untuk menuntut hak hidup kepada Pemerintah atau Pemangku Kepentingan (stakeholders) yang ada.
Jika pun mereka (orang miskin) meminjam kemudian dikatakan bahwa itu merupakan jaminan hidup sehingga mereka bisa bertahan hidup. Itu juga belum tentu benar, justeru peminjam uang terbesar berasal dari kalangan mampu bukan dari kalangan orang miskin. Sungguh luar biasa jika ada pihak peminjam berani membuka kesempatan bagi orang miskin yang tidak memiliki jaminan apa pun untuk meminjam uang. Di Indonesia itu tidak mudah atau diragukan terjadi.
Level mikro., modal sosial terbentuk karena adanya relasi lebih dari dua orang. Ikatan komunal awal yang terbentuk ialah Perasaan Senasib dan Sepenanggungan kemudian menjadi perilaku nyata yang dimotori oleh nilai-nilai sosial budaya (agama termasuk di dalamnya). Setiap individu memberikan potensi-potensi yang ada untuk menjamin infrastruktur relasi sehingga terbentuk pola kekerabatan dan pola kekeluargaan, pola pertemanan dan pola komunikasi resiprositas (berhubungan timbal balik).
Hubungan berpola pada proses pengentalan modal sosial tidak bersifat cost and benefit (untung-rugi) tetapi take and give (memberi-menerima) dimana akan terbentuk semacam kontrak sosial berisi sejumlah aturan yang harus (tidak ada pilihan) disepakati bersama oleh setiap individu dalam relasi berpola itu.
Contoh, sepasang manusia menjalin hubungan lebih serius ke jenjang pernikahan. Mereka merupakan keluarga kurang mampu karena berpenghasilan tidak pasti. Pihak keluarga pun menyampaikan rencana pernikahan kedua anaknya, seketika akan terkumpul sejumlah uang yang berasal dari:
  • Pihak Laki-laki dari keluarga Bapak Mempelai Laki-laki. Jika keluarga dari Bapak Mempelai Laki-laki berjumlah 1800 keluarga dan masing-masing mengumpulkan posintuwu Rp. 50.000 maka akan terkumpul Rp. 90.000.000. Nilai ini akan bertambah lebih banyak jika Bapak itu aktif mengikuti undangan dan memberikan posintuwu, meski pun jumlah yang mampu diberikan si Bapak adalah Rp. 10.000.
  • Pihak Laki-laki dari keluarga Ibu Mempelai Laki-laki. Jika keluarga dari Ibu Mempelai Laki-laki ini berjumlah sama dengan keluarga suaminya, maka akan terkumpul total jumlah uang yang sama Rp. 90.000.000.
  • Demikian juga dengan pihak keluarga Mempelai Perempuan, jumlah uang yang diperoleh akan bertambah banyak.
Hal ini menunjukkan bahwa modal sosial sebagai dasar kuat untuk menjamin kelangsungan hidup bahkan tidak menutup kemungkinan itu adalah syarat mutlak menuju kesejahteraan. Tetapi keseluruhan itu sangat tergantung oleh individu masing-masing apakah dirinya aktif berperan dalam kegiatan-kegiatan tertentu (posintuwu), kurang sama sekali atau tidak sama sekali.
Dalam kasus berbeda, jika seseorang tidak memiliki uang untuk berperan serta pada kegiatan-kegiatan tertentu dan dirinya hanya memberikan jasa berupa tenaga sehingga bisa berperan pada kegiatan itu, maka jasanya akan diperhitungkan dan pihak penerima jasa tersebut akan membantu seseorang yang telah berjasa itu baik berbentuk uang atau balas jasa (tenaga).
Disini dibutuhkan kemampuan matang dan serius oleh Pemerintah atau Pihak berkompeten untuk mengatur serta mengimplementasikan potensi-potensi, jaringan infrastruktur relasi dari modal sosial sebagai bentuk kebijakan inovatif yang kreatif dan berdaya kuat.
Pengalaman luar biasa juga SAYA temukan di Kabupaten Jembrana, Bali. Jika dibanding dengan Poso, maka Poso jauh lebih baik dari Jembrana sebagai contoh kendaraan dinas Bupati Jembrana – Bali hanya menggunakan mobil Hartop Toyota.[1]

SAYA juga memperoleh informasi bahwa Bupati Jembrana memutuskan untuk menggunakan kendaraan yang ada pada masyarakat dengan cara menyewa. Bagi SAYA, ini merupakan terobosan untuk memanfaatkan serta membangun infrastruktur relasi penunjang modal sosial sekaligus membangun trust (kepercayaan) yang tidak sekedar main-main serta mampu mengajak masyarakat mendayagunakan potensi yang ada. Kabupaten Jembrana mencari dan menjalin hubungan relasi dengan berbagai pihak untuk mau berinvestasi pada bidang pendidikan dan kesehatan. Khususnya pendidikan, Kabupaten Jembrana secara merata memberikan beasiswa kepada peserta didik dimana pun ia menempuh pendidikan atau Perguruan Tinggi.
Lembaga penyelenggara pendidikan, tak pernah sekalipun didiskriminasi, semuanya sama diperlakukan secara adil dan merata. Hasilnya, Jembrana jauh lebih baik dari Poso!
Koordinasi yang baik belum tentu menjamin masa depan wilayah!
Ada singkatan/ istilah dalam masyarakat kita (umum di Indonesia), ABS atau Asal Bapak Senang. Istilah “ABS” tidak timbul dengan sendirinya karena ada sesuatu hal yang telah berlangsung. Jadi cukup beralasan “ABS” itu lebih populer daripada kecap ABC. Mengapa “ABS” populer?
Kemungkinan saja ini dilakukan untuk mendapatkan “penilaian baik” dari pimpinan atau pimpinan yang mengharuskan untuk melakukan apa yang diinginkannya, versi lain ialah bawahan yang diperintah tidak ingin repot untuk berpikir dan merealisasikan perintah. Salah satu atau seluruhnya bisa saja terjadi dalam suatu lembaga.
Terpenting bagi kita tahu bahwa “ABS” timbul dari lingkungan kepemimpinan yang dinilai otoriter atau dictator. Koordinasi tidak dilihat sebagai komunikasi yang sehat tetapi komunikasi dibawah tekanan. Koordinasi seperti itu cenderung memunculkan pola-pola tidak demokratis dan arahnya untuk kepentingan politis semata bukan kepentingan sosial.
Disisi lain, meski pun koordinasi sudah baik dan dilakukan tanpa tekanan itu pun belum menjamin masa depan wilayah dan masyarakat karena dinilai terlalu boros menggunakan waktu hanya habis pada pelaksanaan rapat-rapat koordinasi misalnya membahas kemiskinan! Sementara itu, sebagian besar peserta rapat bukan berasal dari orang miskin tetapi individu yang memiliki kemampuan ekonomi cukup baik.
Singkatnya, “bagaimana kita memahami kemiskinan sementara orang yang diminta ikut dalam kegiatan koordinasi ialah orang berkemampuan? Hanya orang miskin yang tahu kemiskinan dan cara dia survive (bertahan)!” Jika ingin menyelesaikan kemiskinan, maka hiduplah dengan orang miskin agar bisa merasakan kemiskinan sehingga memperoleh jalan keluar untuk mensejahterakan masyarakat.
Masa depan wilayah bukan semata-mata menjadi beban Kepala Daerah dan Instansi Pemerintahan setempat!
Kita tidak bisa menyalahkan jika masyarakat atau kelompok tertentu memandang bahwa urusan masa depan itu sepenuhnya menjadi beban Kepala Daerah (atau Presiden) dan Instansi Pemerintahan bersangkutan.
Ketika masyarakat menaruh kepercayaan kepada seseorang dengan cara memilih seseorang, maka sejak itu masyarakat memiliki pandangan bahwa seluruhnya menjadi kewajiban (bukan semata-mata tanggung jawab) orang pilihannya. Ini dipandang sebagai tantangan bagi seorang pemimpin dan dibutuhkan sikap serius untuk menanggapi serta menghasilkan hal positif. Tapi kita juga dituntut harus sadar bahwa tujuan membangun kehidupan lebih baik itu merupakan tujuan bersama.
Pertanyaannya bagaimana memulai itu sementara kondisi sosial : keragaman, kerapatan serta wilayah dari kerapatan sosial, zona gesekan kerapatan dan ragam instrumen kebutuhan sangat variatif (beraneka macam). Anggap saja ini PR bagi Calon Kepala Daerah mendatang atau Kepala Daerah yang terpilih, organisasi sosial yang ada dan praktisi-praktisi lainnya.
Fasilitator-fasilitator Hubungan belum cukup kuat menjamin masa depan wilayah!
Ketika ada pemikiran sehubungan dengan pembentukan fasilitator-fasilitator berasal dari lingkup eksekutif dan legislatif, maka secara teknis pembentukan media yang memfasilitasi hubungan internal dan eksternal masyarakat bermasalah pada pembiayaannya, pengaturan kepanitian, penetapan jadwal dan tempat berlangsungnya, proses pengambilan keputusan dan sebagainya.
Diranah publik (mis. kalangan Akademisi dan Praktisi) itu memungkinkan dilakukan sebab pandangan mereka (Akademisi dan Praktisi) kedua lembaga formal (eksekutif dan legislatif) memiliki sumber-sumber pendanaan. Jadi cukup mungkin diimplementasikan ide itu. Tetapi pikir SAYA, itu merupakan pemborosan biaya dan membuang energi yang semestinya tidak perlu sampai seboros itu. Masih ada permasalahan krusial lainnya yang membutuhkan biaya cukup tinggi dan pemikiran (energi) sangat besar.
Indikasi Pasti : aktor harus memiliki jejaring relasi kuat sebagai jaminan masa depan wilayah!
SAYA pribadi memandang bahwa jawaban terakhir (point 4) sangat logis dan kuat dalam menjawab “MASA DEPAN POSO ADA DITANGAN SIAPA?”
Setiap kita (umum) pastinya memiliki relasi (hubungan) dengan orang lain, tapi tidak semua orang pada jejaring relasi aktor berkompeten sebagai jaminan masa depan wilayah. Ini juga sangat tergantung pada latarbelakang individu (relasi aktor dengan individu berkompeten) di jejaring relasi masing-masing (aktor, khusus) dan tergantung dari latarbelakang serta rekam jejak aktor yang berelasi dengan individu berkompeten sebagai jaminan masa depan wilayah.
Pemikiran ini tak berbeda dari relasi sosial budaya pada masyaraka Jawa dimana seorang priyayi atau santri membuka kesempatan kepada kelompok abangan untuk meraih sukses serta kedudukan yang sama dengan mereka (santri atau priyayi) sehingga seorang abangan bisa berpeluang menjadi priyayi. Dalam masyarakat Jawa dikenal budaya ngenger yakni orang yang ingin sukses seperti priyayi akan tinggal bersama dengan priyayi dan belajar dari priyayi maka individu bersangkutan akan menyerahkan hidupnya kepada Bendoro (orang yang sukses). Hubungan Bendoro dengan abangan adalah hubungan timbal balik (resiprositas) yang dibangun pada ikatan emosional dari modal sosial. Hubungan mereka tidak dapat dirusak dengan berbagai cara dan berbagai pendekatan karena bendoro dan abangan sudah seperti saudara kandung; masalah yang dihadapi abangan juga masalah bagi seorang bendoro dan sebaliknya masalah bendoro ialah masalah bagi abangan.[1]
SAYA memandang bahwa orang Pamona juga memiliki hal serupa dengan masyarakat Jawa untuk studi hubungan berpola tersebut, meski secara populasi orang Pamona lebih bervariasi (banyak rumpunnya) dari masyarakat Jawa., sebut saja rumpun Pebato yang serupa dengan kultur masyarakat terkait pola relasi bersifat fleksibel, terbuka dan lebih merata.
Sayangnya, tidak semua bisa memainkan peran itu dan keragaman rumpun Pamona menjadi persoalan analitis untuk bisa merekayasa hubungan berpola yang serupa sehingga aktor memiliki kemampuan sama dari aktor yang memiliki kemampuan itu.
Siapakah aktor itu? Masyarakat Poso pasti sudah mengetahuinya. Tak sedikit prestasi dan karya nyatanya yang kini bisa dirasakan semua lapisan dan semua kelompok masyarakat di Poso. Selamat merenung dan memilih dengan benar. Sampai ketemu di Pemilihan Umum Masa Mendatang. Bijaklah melihat calon pemimpinmu baik di eksekutif dan di legislatif!


[1] Lihat lebih jelas karya-karya spektakuler dalam penelitian sosial atau narasi empiris dari Gertz (tahun 1960), Jay (tahun 1969) dan Kayam (tahun 2003). Bagian ini bersumber dari narasi empiris ketiga tokoh utama relasi berpola.

[1] Kemungkinan besar hanya Jembrana, mobil dinas Bupati adalah Hartop Toyota dan menyewa fasilitas penunjang milik masyarakat setempat. Diluar dari Bupati Jembrana, sukar untuk ditemukan. Bagaimana dengan Poso?