Facelift Puzzle ~ Adriani GA Tobondo |
Anak Kampus CPC - Support us
Senin, 23 September 2013
Minggu, 22 September 2013
ArtAbstract~Adriani Galry Adoniram Tobondo
Women Cry by Adriani GA Tobondo |
The Planet 2 by Adriani GA Tobondo |
The Legend of Sumanto by Adriani GA Tobondo |
Erotic Critical Art - Mahluk Tuhan Terindah by Adriani GA Tobondo |
Label:
Abstract,
Abstract Art,
Adriani GA Tobondo,
Art,
Critical,
Cry,
Digital,
Erotic Art,
Legend,
Mahluk,
Planet,
Sumanto,
Terindah,
The Legend of Sumanto,
Tobondo,
Tuhan,
Women,
Women Cry
MEMBONGKAR RAHASIA JOKOWI UNTUK CALON-CALON POLITISI DI LEMBAGA EKSEKUTIF (PEMERINTAH DAERAH) DAN LEMBAGA LEGISLATIF (DPR)
Gubernur DKI Jakarta, Jokowi, pria yang dulunya Bupati
Solo Jawa Tengah tak pernah turun ratting-nya.
Terakhir kali saya membaca berita media Tutup Rakernas, Mega Tolak Foto Salaman
dengan Jokowi. Bagian terakhir berita itu : “Saat itu, posisi Jokowi berada di
belakang Mega, Puan dan salah satu kader. Salah satu kader tersebut mengucapkan
"Bu diminta salaman sama Pak Jokowi," ucap kader tersebut. Namun,
entah kesal karena permintaan tersebut, Mega enggan melakukan dan berujar pelan
"Udah, enggak usah," ucap Mega di atas podium” [1]
Masih seputar Jokowi, Perdana Putra menulis di
kompasiana SBY Bombardir Jokowi dengan Strategi Perang Kota : “….Program
pengadaan ribuan Bus sebagai transportasi masal pun harus segera dihentikan
atau setidaknya di hadang dengan berbagai cara, sampai akhirnya merekapun
menerapkan regulasi yang rumit dan berbelit hanya untuk menghadang pengadaan
ribuan bus transportasi masal tersebut. Alhasil, Proses pengadaan ribuan bus
tersebut tidak mendapat persetujuan dari pusat dengan berbagai alasan yang
systemic. Pengadaan yang rencananya sekitar 1400 bus untuk penambahan dan
peremajaan transportasi umum itupun harus tersendat dan hanya akan terealisasi
sekitar 400an bus dengan berbagai alasan dan regulasi systemiknya yg disusun
secara berbelit. Tak cukup hanya disitu, Pemerintah pusat pun sekarang mulai
gencar membombardir Jokowi dengan kekuatan supernya, dengan kapasitas penuh dan
dengan ledakan tak terhingga, dengan diterapkannya mobil murah LCGC dengan
alasan lingkungan. Mereka tidak lagi perduli bahwa kapasitas Jalan raya
sekarang sudah sangat tidak sebanding dengan jumlah kendaraan yang beredar di
jabodetabek. Mereka tidak lagi perduli peningkatan konsumsi BBM yang sekarang
saja kita sudah sangat minus dan harus mengimpor ratusan ribu barel per hari,
Mereka juga tidak perduli bahwa dengan makin besarnya import BBM sangat
berpengaruh pada semakin ambruknya nilai tukar rupiah yang sudah sangat
tertekan dan terpuruk. Semua itu karena mereka sudah panik, dan dalam kepanikan
itu, mereka tidak lagi perduli apakah balita atau anak-anak yang akan menjadi
korban dari bombardir mereka yang mereka
tujukan langsung dipusat kota….”[2]
Bagi sebagian orang tentu penasaran dan ingin mencari
tahu bagaimana seorang Jokowi dan bagaimana Jokowi itu populer?
A. Trend Pasangan Politik Beda Agama
Keputusan berpasangan dengan Ahok yang beragama
Kristen sebagai Calon Wakil Gubernur kala itu., harus diberikan apresiasi besar
bahwa ini menunjukkan Jakarta daerah yang pluralis dan hal ini juga
menggambarkan bahwa masyarakat Indonesia telah berubah sikap menjadi lebih
terbuka serta menerapkan pluralitas itu pada berbagai perilakunya baik perilaku
politik atau perilaku sosial. Sebelumnya, Gubernur Jakarta dipimpin oleh Hendrik
Hermanus Joel Ngantung atau disapa akrab Henk Ngantung beragama Kristen dari
Sulawesi Utara. Bahkan AA. Baramuli yang beragama Islam menjadi Gubernur
kemudian disusul Abdullah Amu di Sulawesi Utara yang mayoritas agamanya
Kristen.
Perkembangannya, sejumlah kasus dan fenomena yang
mengancam pluralitas di Indonesia sedikit menenggelamkan trend setting politik
dalam pemasangan calon kandidat di lembaga eksekutif. Meski demikian, kasus dan
fenomena yang mengancam pluralitas itu juga dinilai bagian dari residu (pemicu)
kesadaran masyarakat secara langsung (yang merasakan) atau secara tidak
langsung misalnya efek negatif yang dialami masyarakat ketika terjadi beberapa
kasus pada tataran makro dimana masyarakat juga menjadi korban dari perseteruan
berlatarbelakang SARA.
Dalam beberapa masa, calon kandidat berasal dari agama
minoritas kurang kuat secara politis tetapi pada masa berikutnya seorang calon
kandidat beragama minoritas bisa diorbitkan seperti fenomena besar dari kemenangan
Jokowi-Ahok.
Kemenangan Jokowi-Ahok masa-masa krisis pluralitas di
Jakarta (atau umumnya daerah NKRI) itu merupakan sesuatu hal yang luar biasa
untuk area Jakarta. Trend ini
sepertinya diambil dan diterapkan oleh pasangan kandidat Presiden dan Wakil
Presiden NKRI mendatang, Wiranto dan HT.
B. Branding Politik Figur
Branding politik (baca : melabelkan
politik) membutuhkan ketelitian, analitis dan kritis serta cermat membaca
masalah dan kebutuhan masyarakat termasuk pandangan masyarakat terhadap
kehidupan sekitar. Branding politik
tidak dilakukan dengan pendekatan politis tetapi lebih kepada pendekatan
sosial, budaya dan ekonomi yang seluruhnya disajikan secara konkret tanpa
melakukan pembohongan publik terkait sisi dari profil yang akan dijadikan branding. Singkatnya, branding politik tidak membodohi dan
membohongi masyarakat ketika sedang berpromosi “dagangan politis”. Branding politik lahir dari pendekatan marketing sosial (pemasaran sosial)
suatu teknik tingkat tinggi untuk melembagakan program dan kegiatan, kebijakan,
sosialisasi-sosialisasi, proses melembagakan kesadaran, pesan-pesan sosial
lainnya. Anatomi (tubuh) Branding
politik seluruhnya adalah fakta (data) dari figur politik (aktor) yang akan
dipromosikan.
C. “Selebriti Plat Merah”
Mudah-mudahan kita masih ingat beberapa berita yang
pernah menayangkan politik blusukan[3]
dimulai dari Jokowi ketika masih menjabat sebagai Bupati Solo. Justeru
politik blusukan mampu mengantar
Jokowi menjadi Gubernur DKI Jakarta, Jokowi sendiri memilih politik blusukan daripada lobi politik.[4]
Trend politik blusukan
Pasca Jokowi-Ahok semakin gencar dilakukan oleh para politisi, tak heran mereka
sering melakukan hal-hal yang bersifat fenomena bagi seorang politisi seperti
yang dilakukan Ridwan Kamil, Walikota Bandung ketika mengendarai sepeda ke
kantor Balai Kota Jalan wastu Kancana dari rumahnya di kawasan Cigadung dan
menjadi sopir angkota umum.[5]
Penggunaan media sosial misalnya facebook, twitter dan
youtube serta seluruh aksi diliput media cetak, radio dan televisi akan
membentuk pandangan masyarakat yang berimbas positif bagi seorang politisi.
Tetapi jika kemasan Branding
politik-nya kurang matang, maka tentu berdampak pada cemohan yang akan
diperoleh seorang politisi.
Demikian sekiranya ini berarti bagi para calon
kandidat yang akan berkompetisi pada Laga Politisi dalam Pemilihan Umum Tahun
2014 baik tingkat Kabupaten, Propinsi dan Pusat dilingkup lembaga Eksekutif dan
Legislatif (atau bahkan Yudikatif jika ada proses sama seperti itu).
Selamat mencoba!
Adriani GA Tobondo
Praktisi Branding
Politik dan Pengamat Sosial.
Kandidat Doktor Studi Pembangunan:
bidang kosentrasi Relasi Sosial (Interrelasi dan
Multirelasi),
Kebijakan dan Pembangunan Sosial
[1] http://www.merdeka.com/politik/tutup-rakernas-mega-tolak-difoto-salaman-dengan-jokowi.html
[2] http://politik.kompasiana.com/2013/09/20/sby-bombardir-jokowi-dengan-strategi-perang-kota-594242.html
[4] http://www.metrotvnews.com/metronews/read/2013/09/15/5/181669/Jokowi-Pilih-Blusukan-ketimbang-Lobi-Politik
[5] http://sosok.kompasiana.com/2013/09/20/ridwan-kamil-seleb-plat-merah-rival-baru-jokowi-591515.html
Sabtu, 21 September 2013
MASA DEPAN POSO ADA DITANGAN SIAPA? Kisi-kisi Sosiologi dalam Memilih Pemimpin
Dalam kapasitas sebagai Pengamat Sosial., SAYA belum
melihat masa depan Poso sehingga wajar jika bertanya “siapa yang berperan kuat
memberikan jaminan bagi terwujudnya masa depan Poso sesuai harapan bersama”.
Pastinya jawaban yang muncul itu beraneka-macam, (1). seorang
Kepala Daerah akan menganggap bahwa ini sangat ditentukan oleh besaran
Pendapatan Asli Daerah dan kinerja instansi pemerintah setempat yang
terkoordinasi secara baik. Itu juga dipandang benar!
Jawaban berikutnya : (2). masyarakat akan memandang
bahwa ini sangat ditentukan oleh kecakapan Kepala Daerah dan Instansi
pemerintah setempat untuk terpanggil menata masa depan Poso akan datang. Itu
juga dinilai benar!
Jawaban versi lainnya : (3). kelompok akademisi dan
praktisi sosial mengemukakan pemikiran bahwa seluruhnya tergantung hubungan
internal masyarakat dan hubungan eksternal masyarakat yang ditunjang oleh
kemampuan memfasilitasi hubungan-hubungan tersebut baik oleh perangkat
eksekutif maupun perangkat legislatif. Ini juga tidak salah!
Disisi lain, kemungkinan jawaban yang akan muncul
seperti ini : (4). semuanya tergantung dari para aktor (eksekutif, legislatif
dan aktor diluar struktur formal misalnya tokoh masyarakat), mereka banyak
relasi tidak? Kalau tidak, maka sulit bagi Poso untuk meraih masa depannya. Mmmmm….. ini ada benarnya!
Masa depan wilayah tak selamanya tergantung dengan uang!
Ada sejumlah kasus (pembelajaran) yang ingin SAYA
paparkan disini dan hal tersebut menunjukkan bahwa uang tidak selamanya
menentukan masa depan. Sebaliknya justeru terjadi bahwa uang menimbulkan banyak
masalah.
Berbicara mengenai modal membangun berarti kita akan
melihat ragam potensi lokal dan potensi terbesar itu ialah modal sosial yang
diartikan sebagai ikatan komunal yang kuat berbasis karakter sosial budaya pada
masyarakat setempat. Kita pasti mengenal lebih baik modal sosial itu, beberapa
kelompok sosial mengenalnya dalam bentuk saparan,
merti dusun, jagongan bayi, tirakatan,
posintuwu dan mesale. Dalam agama misalnya agama Islam mengenal sebagai bentuk
gerakan Al-Tadjid dan Al-Ma’un serta agama Kristen memiliki
basis modal sosial dikenal dengan bentuk Hukum Kasih.
SAYA pribadi tertarik untuk mempelajari modal sosial
diawali oleh pemikiran mendasar tentang kemiskinan. Asumsinya sederhana, jika
orang dikatakan miskin dengan berbagai kriteria (khususnya tidak memiliki
penghasilan yang pasti) seharusnya jumlah orang miskin akan berkurang bukan
karena mereka sudah sejahtera tetapi karena kematiannya. Logikanya mudah, orang
miskin tidak memiliki banyak uang sehingga sulit untuk bertahan hidup sehingga
mereka tidak mungkin bertahan lama. Sebaliknya, orang miskin bertambah banyak
dan mereka tetap eksis dipermukaan sosial untuk menuntut hak hidup kepada
Pemerintah atau Pemangku Kepentingan (stakeholders) yang ada.
Jika pun mereka (orang miskin) meminjam kemudian
dikatakan bahwa itu merupakan jaminan hidup sehingga mereka bisa bertahan
hidup. Itu juga belum tentu benar, justeru peminjam uang terbesar berasal dari
kalangan mampu bukan dari kalangan orang miskin. Sungguh luar biasa jika ada
pihak peminjam berani membuka kesempatan bagi orang miskin yang tidak memiliki
jaminan apa pun untuk meminjam uang. Di Indonesia itu tidak mudah atau
diragukan terjadi.
Level mikro., modal sosial terbentuk karena adanya
relasi lebih dari dua orang. Ikatan komunal awal yang terbentuk ialah Perasaan
Senasib dan Sepenanggungan kemudian menjadi perilaku nyata yang dimotori oleh
nilai-nilai sosial budaya (agama termasuk di dalamnya). Setiap individu
memberikan potensi-potensi yang ada untuk menjamin infrastruktur relasi
sehingga terbentuk pola kekerabatan dan pola kekeluargaan, pola pertemanan dan
pola komunikasi resiprositas (berhubungan timbal balik).
Hubungan berpola pada proses pengentalan modal sosial
tidak bersifat cost and benefit (untung-rugi) tetapi take and give
(memberi-menerima) dimana akan terbentuk semacam kontrak sosial berisi sejumlah
aturan yang harus (tidak ada pilihan) disepakati bersama oleh setiap individu
dalam relasi berpola itu.
Contoh, sepasang manusia menjalin hubungan lebih
serius ke jenjang pernikahan. Mereka merupakan keluarga kurang mampu karena
berpenghasilan tidak pasti. Pihak keluarga pun menyampaikan rencana pernikahan
kedua anaknya, seketika akan terkumpul sejumlah uang yang berasal dari:
- Pihak Laki-laki dari keluarga Bapak Mempelai Laki-laki. Jika keluarga dari Bapak Mempelai Laki-laki berjumlah 1800 keluarga dan masing-masing mengumpulkan posintuwu Rp. 50.000 maka akan terkumpul Rp. 90.000.000. Nilai ini akan bertambah lebih banyak jika Bapak itu aktif mengikuti undangan dan memberikan posintuwu, meski pun jumlah yang mampu diberikan si Bapak adalah Rp. 10.000.
- Pihak Laki-laki dari keluarga Ibu Mempelai Laki-laki. Jika keluarga dari Ibu Mempelai Laki-laki ini berjumlah sama dengan keluarga suaminya, maka akan terkumpul total jumlah uang yang sama Rp. 90.000.000.
- Demikian juga dengan pihak keluarga Mempelai Perempuan, jumlah uang yang diperoleh akan bertambah banyak.
Hal ini menunjukkan bahwa modal sosial sebagai dasar
kuat untuk menjamin kelangsungan hidup bahkan tidak menutup kemungkinan itu
adalah syarat mutlak menuju kesejahteraan. Tetapi keseluruhan itu sangat
tergantung oleh individu masing-masing apakah dirinya aktif berperan dalam
kegiatan-kegiatan tertentu (posintuwu), kurang sama sekali atau tidak sama
sekali.
Dalam kasus berbeda, jika seseorang tidak memiliki
uang untuk berperan serta pada kegiatan-kegiatan tertentu dan dirinya hanya
memberikan jasa berupa tenaga sehingga bisa berperan pada kegiatan itu, maka
jasanya akan diperhitungkan dan pihak penerima jasa tersebut akan membantu
seseorang yang telah berjasa itu baik berbentuk uang atau balas jasa (tenaga).
Disini dibutuhkan kemampuan matang dan serius oleh
Pemerintah atau Pihak berkompeten untuk mengatur serta mengimplementasikan
potensi-potensi, jaringan infrastruktur relasi dari modal sosial sebagai bentuk
kebijakan inovatif yang kreatif dan berdaya kuat.
Pengalaman luar biasa
juga SAYA temukan di Kabupaten Jembrana, Bali. Jika dibanding dengan Poso, maka
Poso jauh lebih baik dari Jembrana sebagai contoh kendaraan dinas Bupati
Jembrana – Bali hanya menggunakan mobil Hartop Toyota.[1]
SAYA juga memperoleh informasi bahwa Bupati Jembrana
memutuskan untuk menggunakan kendaraan yang ada pada masyarakat dengan cara
menyewa. Bagi SAYA, ini merupakan terobosan untuk memanfaatkan serta membangun
infrastruktur relasi penunjang modal sosial sekaligus membangun trust (kepercayaan) yang tidak sekedar
main-main serta mampu mengajak masyarakat mendayagunakan potensi yang ada.
Kabupaten Jembrana mencari dan menjalin hubungan relasi dengan berbagai pihak
untuk mau berinvestasi pada bidang pendidikan dan kesehatan. Khususnya
pendidikan, Kabupaten Jembrana secara merata memberikan beasiswa kepada peserta
didik dimana pun ia menempuh pendidikan atau Perguruan Tinggi.
Lembaga penyelenggara pendidikan, tak pernah sekalipun
didiskriminasi, semuanya sama diperlakukan secara adil dan merata. Hasilnya,
Jembrana jauh lebih baik dari Poso!
Koordinasi yang baik belum tentu menjamin masa depan wilayah!
Ada singkatan/ istilah dalam masyarakat kita (umum di
Indonesia), ABS atau Asal Bapak Senang.
Istilah “ABS” tidak timbul dengan sendirinya karena ada sesuatu hal yang telah
berlangsung. Jadi cukup beralasan “ABS” itu lebih populer daripada kecap ABC.
Mengapa “ABS” populer?
Kemungkinan saja ini dilakukan untuk mendapatkan
“penilaian baik” dari pimpinan atau pimpinan yang mengharuskan untuk melakukan
apa yang diinginkannya, versi lain ialah bawahan yang diperintah tidak ingin
repot untuk berpikir dan merealisasikan perintah. Salah satu atau seluruhnya
bisa saja terjadi dalam suatu lembaga.
Terpenting bagi kita tahu bahwa “ABS” timbul dari
lingkungan kepemimpinan yang dinilai otoriter atau dictator. Koordinasi tidak
dilihat sebagai komunikasi yang sehat tetapi komunikasi dibawah tekanan.
Koordinasi seperti itu cenderung memunculkan pola-pola tidak demokratis dan
arahnya untuk kepentingan politis semata bukan kepentingan sosial.
Disisi lain, meski pun koordinasi sudah baik dan
dilakukan tanpa tekanan itu pun belum menjamin masa depan wilayah dan
masyarakat karena dinilai terlalu boros menggunakan waktu hanya habis pada
pelaksanaan rapat-rapat koordinasi misalnya membahas kemiskinan! Sementara itu,
sebagian besar peserta rapat bukan berasal dari orang miskin tetapi individu
yang memiliki kemampuan ekonomi cukup baik.
Singkatnya, “bagaimana kita memahami kemiskinan
sementara orang yang diminta ikut dalam kegiatan koordinasi ialah orang
berkemampuan? Hanya orang miskin yang tahu kemiskinan dan cara dia survive
(bertahan)!” Jika ingin menyelesaikan kemiskinan, maka hiduplah dengan orang
miskin agar bisa merasakan kemiskinan sehingga memperoleh jalan keluar untuk
mensejahterakan masyarakat.
Masa depan wilayah bukan semata-mata menjadi beban Kepala Daerah dan
Instansi Pemerintahan setempat!
Kita tidak bisa menyalahkan jika masyarakat atau
kelompok tertentu memandang bahwa urusan masa depan itu sepenuhnya menjadi
beban Kepala Daerah (atau Presiden) dan Instansi Pemerintahan bersangkutan.
Ketika masyarakat menaruh kepercayaan kepada seseorang
dengan cara memilih seseorang, maka sejak itu masyarakat memiliki pandangan
bahwa seluruhnya menjadi kewajiban (bukan semata-mata tanggung jawab) orang
pilihannya. Ini dipandang sebagai tantangan bagi seorang pemimpin dan
dibutuhkan sikap serius untuk menanggapi serta menghasilkan hal positif. Tapi
kita juga dituntut harus sadar bahwa tujuan membangun kehidupan lebih baik itu merupakan
tujuan bersama.
Pertanyaannya bagaimana memulai itu sementara kondisi
sosial : keragaman, kerapatan serta wilayah dari kerapatan sosial, zona gesekan
kerapatan dan ragam instrumen kebutuhan sangat variatif (beraneka macam).
Anggap saja ini PR bagi Calon Kepala Daerah mendatang atau Kepala Daerah yang
terpilih, organisasi sosial yang ada dan praktisi-praktisi lainnya.
Fasilitator-fasilitator Hubungan belum cukup kuat menjamin masa depan
wilayah!
Ketika ada pemikiran sehubungan dengan pembentukan
fasilitator-fasilitator berasal dari lingkup eksekutif dan legislatif, maka
secara teknis pembentukan media yang memfasilitasi hubungan internal dan
eksternal masyarakat bermasalah pada pembiayaannya, pengaturan kepanitian,
penetapan jadwal dan tempat berlangsungnya, proses pengambilan keputusan dan
sebagainya.
Diranah publik (mis. kalangan Akademisi dan Praktisi)
itu memungkinkan dilakukan sebab pandangan mereka (Akademisi dan Praktisi)
kedua lembaga formal (eksekutif dan legislatif) memiliki sumber-sumber
pendanaan. Jadi cukup mungkin diimplementasikan ide itu. Tetapi pikir SAYA, itu
merupakan pemborosan biaya dan membuang energi yang semestinya tidak perlu
sampai seboros itu. Masih ada permasalahan krusial lainnya yang membutuhkan
biaya cukup tinggi dan pemikiran (energi) sangat besar.
Indikasi Pasti : aktor harus memiliki jejaring relasi kuat sebagai jaminan
masa depan wilayah!
SAYA pribadi memandang bahwa jawaban terakhir (point
4) sangat logis dan kuat dalam menjawab “MASA DEPAN POSO ADA DITANGAN SIAPA?”
Setiap kita (umum) pastinya memiliki relasi (hubungan)
dengan orang lain, tapi tidak semua orang pada jejaring relasi aktor
berkompeten sebagai jaminan masa depan wilayah. Ini juga sangat tergantung pada
latarbelakang individu (relasi aktor dengan individu berkompeten) di jejaring
relasi masing-masing (aktor, khusus) dan tergantung dari latarbelakang
serta rekam jejak aktor yang berelasi dengan individu berkompeten sebagai
jaminan masa depan wilayah.
Pemikiran ini tak berbeda dari relasi sosial budaya
pada masyaraka Jawa dimana seorang priyayi
atau santri membuka kesempatan kepada
kelompok abangan untuk meraih sukses
serta kedudukan yang sama dengan mereka (santri
atau priyayi) sehingga seorang abangan bisa berpeluang menjadi priyayi. Dalam masyarakat Jawa dikenal budaya
ngenger yakni orang yang ingin sukses
seperti priyayi akan tinggal bersama dengan priyayi dan belajar dari priyayi maka
individu bersangkutan akan menyerahkan hidupnya kepada Bendoro (orang yang sukses). Hubungan Bendoro dengan abangan adalah
hubungan timbal balik (resiprositas) yang dibangun pada ikatan emosional dari modal
sosial. Hubungan mereka tidak dapat dirusak dengan berbagai cara dan berbagai pendekatan
karena bendoro dan abangan sudah seperti saudara kandung; masalah
yang dihadapi abangan juga masalah bagi
seorang bendoro dan sebaliknya masalah bendoro ialah masalah bagi abangan.[1]
SAYA memandang bahwa orang Pamona juga memiliki hal serupa
dengan masyarakat Jawa untuk studi hubungan berpola tersebut, meski secara populasi
orang Pamona lebih bervariasi (banyak rumpunnya) dari masyarakat Jawa., sebut saja
rumpun Pebato yang serupa dengan kultur masyarakat terkait pola relasi bersifat
fleksibel, terbuka dan lebih merata.
Sayangnya, tidak semua bisa memainkan peran itu dan keragaman
rumpun Pamona menjadi persoalan analitis untuk bisa merekayasa hubungan berpola
yang serupa sehingga aktor memiliki kemampuan sama dari aktor yang memiliki kemampuan
itu.
Siapakah aktor itu? Masyarakat Poso pasti sudah mengetahuinya.
Tak sedikit prestasi dan karya nyatanya yang kini bisa dirasakan semua lapisan dan
semua kelompok masyarakat di Poso. Selamat merenung dan memilih dengan benar. Sampai
ketemu di Pemilihan Umum Masa Mendatang. Bijaklah melihat calon pemimpinmu baik
di eksekutif dan di legislatif!
[1] Lihat lebih
jelas karya-karya spektakuler dalam penelitian sosial atau narasi empiris dari Gertz
(tahun 1960), Jay (tahun 1969) dan Kayam (tahun 2003). Bagian ini bersumber dari
narasi empiris ketiga tokoh utama relasi berpola.
[1] Kemungkinan
besar hanya Jembrana, mobil dinas Bupati adalah Hartop Toyota dan menyewa fasilitas
penunjang milik masyarakat setempat. Diluar dari Bupati Jembrana, sukar untuk ditemukan.
Bagaimana dengan Poso?
Langganan:
Postingan (Atom)