Pesta
Rakyat Indonesia tahun 2014 akan dimeriahkan oleh 15 Partai Peserta Pemilihan
Umum terdiri dari Partai Nasdem (1), Partai Kebangkitan Bangsa (2), Partai
Keadilan Sejahtera (3), PDI-Perjuangan (4), Partai Golongan Karya (5), Partai
Gerakan Indonesia Raya (6), Partai Demokrat (7), Partai Amanat Nasional (8), Partai
Persatuan Pembangunan (9), Partai Hati Nurani Rakyat (10), Partai Damai Aceh
(11), Partai Nasional Aceh (12), Partai Aceh (13), Partai Bulan Bintang (14),
Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia (15).[1]
Dalam
mempersiapkan tata penyelenggaraan yang baik sebagai sikap apresiasi Pesta
Rakyat Tahun 2014, maka sejumlah usaha telah dimulai yakni penetapan Daftar
Calon Tetap Anggota Legislatif tingkat Daerah, Propinsi dan Pusat juga tak
ketinggalan Calon Presiden-Calon Wakil Presiden Negara Kesatuan Republik
Indonesia (NKRI).
Tetapi
perlu diingat bahwa PEMILU bukanlah sekedar pesta biasa, tetapi perlu kita
renungkan ialah apa relevansinya bagi pembangunan wilayah di Sulawesi Tengah?
Hal yang Benar dibalik
Kekeliruan Masyarakat terhadap “Profil” Calon Legislatif
SAYA
bercakap-cakap dengan seorang Calon Legislatif (CALEG) di DPR-RI dari salah
satu Partai Politik terkuat. Percakapan ini dimulai ketika SAYA sengaja
mengupload status di group facebook tertulis
“moral politik yang baik ditentukan oleh aktor politik yang baik”. Tujuannya untuk
mencari tahu bagaimana gambaran sikap para anggota di group tersebut. Salah
seorang anggota berkeinginan agar ada visi dan misi serta sesuatu yang bisa
dilakukan bagi masyarakat umum juga konstituennya di daerah pemilihan (DAPIL)
merupakan hal yang substansial dari seorang CALEG.
Sementara
itu, idealnya bahwa CALEG tak terlepas dari fungsi-fungsi utamanya antara lain
legislasi serta pengawasan. Keinginan dari anggota di group facebook itu (dan disusul
oleh beberapa orang lainnya) sebenarnya menjadi bagian dari kapasitas Calon
Eksekutif seperti Calon Bupati-Calon Wakil Bupati atau Calon Presiden-Calon
Wakil Presiden karena peran eksekutif lebih kepada penyelenggaraan pembangunan.
Seorang
Tim Sukses dari CALEG di DPR-RI itu memberi tahu kepada CALEG bersangkutan
kemudian Beliau menghubungi via
ponsel. Dalam diskusi, CALEG itu berpendapat “saya kurang tahu kenapa bisa seperti itu jadinya, ini kan proses ke
legislatif bukan ke eksekutif. Mohon maaf Donny, jangan simpan dihati tanggapan
beberapa orang di group itu! Kita harus buat penyuluhan secara tidak langsung
untuk mengklarifikasi kekeliruan tersebut”
SAYA
pun menanggapi “Bagaimana ya Om, kita
tidak bisa menyalahkan sikap yang mengomentari itu! Disisi lain kita benar
karena legislatif kan sudah jelas fungsi-fungsi utamanya dan dilain sisi kita
harus menelusurinya apa alasan utama dibalik komentar mereka: anggap saja ini
bagian dari ekspresi orang lain dalam percakapan mereka atau mereka (yang memberi
komentar) mendengar isu-isu menarik seputar maraknya orang menjadi CALEG.
Percakapan itu saya anggap biasa saja, Om tetapi penting bagi saya!”
Bagi
SAYA ada hal yang benar dibalik kekeliruan masyarakat terhadap profil CALEG.
Umumnya, masyarakat mengetahui bahwa CALEG atau seorang legislatif ialah wakil
mereka (masyarakat) dan wakil itu harus memenuhi kebutuhan mereka sebab mereka
sudah memilih. Ini tidak berbeda dari pandangan mereka terhadap profil CALON
BUPATI-CALON WAKIL BUPATI bahkan CALON PRESIDEN-CALON WAKIL PRESIDEN, para
calon kandidat itu merupakan wakil mereka.
Dalam
kasus ini, masyarakat hanya mengetahui bahwa mereka memiliki wakil di parlemen
atau pemerintahan sehingga mereka (masyarakat) menyama-ratakan kedudukan dan
fungsi-fungsi seorang wakil masyarakat, tanpa memperdulikan terminologi tentang
“legislatif” dan “eksekutif”. Kita tidak bisa menyalahkan itu!
Pertanyaan
paling mendasar yakni “mengapa hal ini
muncul?” Maka beberapa jawaban dibawah ini kiranya dapat menjelaskan
latarbelakang kasus sekaligus fenomena menarik itu :
·
Krisis
kepercayaan. Sikap ini bersumber dari beberapa penilaian
masyarakat terhadap sejumlah kasus yang tidak diharapkan mereka (masyarakat) dalam
perjalanan kehidupan sosial-ekonomi dan sosial-budaya serta sosial-politik
yakni korupsi dan perselingkuhan atau perbuatan asusila serta sikap cemas pada
karakter yang dinilai “fundamental” berbasis pada paham tertentu. Penilaian
lainnya, masyarakat menganggap bahwa ada dua kelompok yakni kelompok yang
diuntungkan meliputi mereka yang memilih seorang calon baik berdasarkan wilayah
atau langsung ke individu yang memilih calon tersebut., Dan kelompok yang
kurang diuntungkan yakni mereka yang tidak memilih calon tersebut dimana
memilih calon lain, sementara calon yang dipilih mereka dinyatakan kalah suara.
Jadi cukup beralasan bahwa mereka bersikap kurang percaya terhadap profil CALEG
dan meminta dijelaskan “apa yang bisa diperbuat” seandainya kami memilih anda!
·
Kesadaran
Politik Masyarakat dalam Pembentukan Bargaining Politik. Masyarakat
mulai sadar bahwa ada pergeseran mendasar pada dunia politik praktis sehubungan
dengan Pemilu yaitu semula kedudukan di panggung politik ialah “jabatan moral”
kini berubah ke “jabatan profesi”. Jabatan moral lebih menekankan pada fungsi
dan kapasitas wakil masyarakat sebagai aktor yang berperan memenuhi kebutuhan
masyarakat, sedangkan jabatan profesi lebih mengarah pada kedudukan aktor di
dunia politik praktis dalam kaitannya dengan kompensasi (keuntungan) yang akan
diperoleh ketika masuk ke dunia politik praktis. Atas dasar ini, masyarakat
memperkuat posisi tawar politik (bargaining politik) yang mendorong dibuatnya
kontrak sosial terkait kebutuhan yang diinginkan masyarakat bahkan tidak
menutup kemungkinan masyarakat tidak akan memilih (golput).
·
Kebutuhan
Masyarakat Meningkat. Masyarakat umumnya membutuhkan
bantuan-bantuan yang sifatnya dirasakan langsung dimana perbaikan ekonomi rumah
tangga masih dominan berpengaruh besar terhadap perilaku politik. Kebutuhan
akan adanya upaya perbaikan ekonomi rumah tangga antara lain menyangkut
pemberian modal usaha dan kesempatan bekerja (lapangan pekerjaan yang memadai).
Dua bagian ini sangat penting bagi masyarakat untuk dapat memperoleh
penghasilan yang layak sehingga mereka (masyarakat) bisa berpendidikan
pendidikan dan memiliki kesehatan yang baik pula. Kebutuhan sekunder lainnya
ialah infrastruktur pembangunan seperti jaminan rasa aman, jalan atau
jalur-jalur ekonomi yang ditata baik, pembangunan sejumlah pusat-pusat
pendidikan, pembangunan sejumlah pusat-pusat aktifitas ekonomi dan rekreasi.
Seluruh kebutuhan diharapkan dapat disalurkan merata, tidak hanya ada di pusat
wilayah (Propinsi dan Kabupaten) tetapi masuk di daerah-daerah penyangga pusat
wilayah (desa-desa).
Kedudukan
Politis Sulawesi Tengah ditengah 3 (Tiga) Partai Politik di Aceh dan Pemilihan
Umum Tahun 2014
Pemilu
dilaksanakan untuk memilih wakil yang tepat baik eksekutif maupun legislatif.
Para calon tidak hanya mahir memainkan visi dan misi tetapi harus didukung oleh
keahlian-keahlian sebagai jaminan bagi masyarakat yang kelak memilihnya.
Keahlian tersebut harus ditunjang oleh prestasi dan karya yang nyata, tidak
sekedar “isapan jempol” belaka. Keahlian yang dimaksudkan ialah kemampuan
berdiplomasi dan berkomunikasi lintas kelompok, sehingga harapannya keahlian
yang dimiliki tersebut membawa perubahan positif bagi masyarakat dan
pembangunan di daerah. Jika pun ada calon yang tidak memiliki keahlian dalam
hal kemampuan berdiplomasi dan berkomunikasi tetapi sekedar memiliki relasi
yang besar, maka itu sama saja bohong!
Aspek
penentu lainnya bahwa seorang calon harus benar-benar bersih dari tindak
korupsi, bebas dari kasus atau fenomena tertentu yang berpengaruh pada perilaku
politiknya ketika individu bersangkutan ada di dalam lingkungan eksekutif atau
lingkungan legislatif dan memandang jabatannya tidak sekedar jabatan profesi
tapi jabatan moral. Harapan lain bahwa seorang calon harus memiliki kesadaran
kebangsaan yang besar sebagai bangsa yang satu.
Posisi
Sulawesi Tengah (demikian juga posisi Propinsi lainnya diluar Aceh) perlu
dipertanyakan dalam perpolitikan Pemilu 2014 sebab eksistensi 3 (tiga) Partai
Politik lokal: Partai Damai Aceh, Partai Nasional Aceh dan Partai Aceh akan
lebih terasa efek positifnya bagi daerah Aceh. Kesan publik Aceh bahwa
eksistensi ketiga partai itu dapat menjaring dan merealisasikan aspirasi
masyarakat Aceh serta kepentingan politis Aceh. Eksistensi ketiga Partai
Politik tersebut juga sebagai “pesaing” terberat 12 Partai lainnya di Aceh.
Sementara
itu, Sulawesi Tengah sama sekali tidak memiliki Partai Politik bernamakan
wilayah sendiri sebagai contoh “Partai Sulawesi Tengah” tetapi suara rakyat
Sulawesi Tengah akan menyebar pada 12 Partai peserta Pemilu 2014. Meski ada
pemikiran lain bahwa eksistensi 3 (tiga) Partai di Aceh belum dapat menandingi populeritas
12 Partai Politik, tetapi ketiga Partai Politik di Aceh cukup kuat berpengaruh
secara politik bagi masyarakat dan daerah (termasuk di dalamnya Pembangunan).
Salah
satu pengaruh tersebut ialah mampu memperkuat, mendesign dan mempengaruhi
kebijakan serta arah dari penyelenggaraan pembangunan. Berbeda dari Sulawesi
Tengah, porsi peluang politis untuk memperkuat, mendesign serta mempengaruhi
kebijakan maupun arah dari penyelenggaraan pembangunan, berada pada posisi
mencemaskan!
Pertanyaan
penting berikutnya adalah “Apa yang
harus diperbuat Sulawesi Tengah ketika berada dalam posisi-posisi mencemaskan
itu?”
[1] http://kpu.go.id/index.php?option=com_content&task=view&id=7377&Itemid=244 atau pada
http://id.wikipedia.org/wiki/Daftar_partai_politik_di_Indonesia