Gubernur DKI Jakarta, Jokowi, pria yang dulunya Bupati
Solo Jawa Tengah tak pernah turun ratting-nya.
Terakhir kali saya membaca berita media Tutup Rakernas, Mega Tolak Foto Salaman
dengan Jokowi. Bagian terakhir berita itu : “Saat itu, posisi Jokowi berada di
belakang Mega, Puan dan salah satu kader. Salah satu kader tersebut mengucapkan
"Bu diminta salaman sama Pak Jokowi," ucap kader tersebut. Namun,
entah kesal karena permintaan tersebut, Mega enggan melakukan dan berujar pelan
"Udah, enggak usah," ucap Mega di atas podium” [1]
Masih seputar Jokowi, Perdana Putra menulis di
kompasiana SBY Bombardir Jokowi dengan Strategi Perang Kota : “….Program
pengadaan ribuan Bus sebagai transportasi masal pun harus segera dihentikan
atau setidaknya di hadang dengan berbagai cara, sampai akhirnya merekapun
menerapkan regulasi yang rumit dan berbelit hanya untuk menghadang pengadaan
ribuan bus transportasi masal tersebut. Alhasil, Proses pengadaan ribuan bus
tersebut tidak mendapat persetujuan dari pusat dengan berbagai alasan yang
systemic. Pengadaan yang rencananya sekitar 1400 bus untuk penambahan dan
peremajaan transportasi umum itupun harus tersendat dan hanya akan terealisasi
sekitar 400an bus dengan berbagai alasan dan regulasi systemiknya yg disusun
secara berbelit. Tak cukup hanya disitu, Pemerintah pusat pun sekarang mulai
gencar membombardir Jokowi dengan kekuatan supernya, dengan kapasitas penuh dan
dengan ledakan tak terhingga, dengan diterapkannya mobil murah LCGC dengan
alasan lingkungan. Mereka tidak lagi perduli bahwa kapasitas Jalan raya
sekarang sudah sangat tidak sebanding dengan jumlah kendaraan yang beredar di
jabodetabek. Mereka tidak lagi perduli peningkatan konsumsi BBM yang sekarang
saja kita sudah sangat minus dan harus mengimpor ratusan ribu barel per hari,
Mereka juga tidak perduli bahwa dengan makin besarnya import BBM sangat
berpengaruh pada semakin ambruknya nilai tukar rupiah yang sudah sangat
tertekan dan terpuruk. Semua itu karena mereka sudah panik, dan dalam kepanikan
itu, mereka tidak lagi perduli apakah balita atau anak-anak yang akan menjadi
korban dari bombardir mereka yang mereka
tujukan langsung dipusat kota….”[2]
Bagi sebagian orang tentu penasaran dan ingin mencari
tahu bagaimana seorang Jokowi dan bagaimana Jokowi itu populer?
A. Trend Pasangan Politik Beda Agama
Keputusan berpasangan dengan Ahok yang beragama
Kristen sebagai Calon Wakil Gubernur kala itu., harus diberikan apresiasi besar
bahwa ini menunjukkan Jakarta daerah yang pluralis dan hal ini juga
menggambarkan bahwa masyarakat Indonesia telah berubah sikap menjadi lebih
terbuka serta menerapkan pluralitas itu pada berbagai perilakunya baik perilaku
politik atau perilaku sosial. Sebelumnya, Gubernur Jakarta dipimpin oleh Hendrik
Hermanus Joel Ngantung atau disapa akrab Henk Ngantung beragama Kristen dari
Sulawesi Utara. Bahkan AA. Baramuli yang beragama Islam menjadi Gubernur
kemudian disusul Abdullah Amu di Sulawesi Utara yang mayoritas agamanya
Kristen.
Perkembangannya, sejumlah kasus dan fenomena yang
mengancam pluralitas di Indonesia sedikit menenggelamkan trend setting politik
dalam pemasangan calon kandidat di lembaga eksekutif. Meski demikian, kasus dan
fenomena yang mengancam pluralitas itu juga dinilai bagian dari residu (pemicu)
kesadaran masyarakat secara langsung (yang merasakan) atau secara tidak
langsung misalnya efek negatif yang dialami masyarakat ketika terjadi beberapa
kasus pada tataran makro dimana masyarakat juga menjadi korban dari perseteruan
berlatarbelakang SARA.
Dalam beberapa masa, calon kandidat berasal dari agama
minoritas kurang kuat secara politis tetapi pada masa berikutnya seorang calon
kandidat beragama minoritas bisa diorbitkan seperti fenomena besar dari kemenangan
Jokowi-Ahok.
Kemenangan Jokowi-Ahok masa-masa krisis pluralitas di
Jakarta (atau umumnya daerah NKRI) itu merupakan sesuatu hal yang luar biasa
untuk area Jakarta. Trend ini
sepertinya diambil dan diterapkan oleh pasangan kandidat Presiden dan Wakil
Presiden NKRI mendatang, Wiranto dan HT.
B. Branding Politik Figur
Branding politik (baca : melabelkan
politik) membutuhkan ketelitian, analitis dan kritis serta cermat membaca
masalah dan kebutuhan masyarakat termasuk pandangan masyarakat terhadap
kehidupan sekitar. Branding politik
tidak dilakukan dengan pendekatan politis tetapi lebih kepada pendekatan
sosial, budaya dan ekonomi yang seluruhnya disajikan secara konkret tanpa
melakukan pembohongan publik terkait sisi dari profil yang akan dijadikan branding. Singkatnya, branding politik tidak membodohi dan
membohongi masyarakat ketika sedang berpromosi “dagangan politis”. Branding politik lahir dari pendekatan marketing sosial (pemasaran sosial)
suatu teknik tingkat tinggi untuk melembagakan program dan kegiatan, kebijakan,
sosialisasi-sosialisasi, proses melembagakan kesadaran, pesan-pesan sosial
lainnya. Anatomi (tubuh) Branding
politik seluruhnya adalah fakta (data) dari figur politik (aktor) yang akan
dipromosikan.
C. “Selebriti Plat Merah”
Mudah-mudahan kita masih ingat beberapa berita yang
pernah menayangkan politik blusukan[3]
dimulai dari Jokowi ketika masih menjabat sebagai Bupati Solo. Justeru
politik blusukan mampu mengantar
Jokowi menjadi Gubernur DKI Jakarta, Jokowi sendiri memilih politik blusukan daripada lobi politik.[4]
Trend politik blusukan
Pasca Jokowi-Ahok semakin gencar dilakukan oleh para politisi, tak heran mereka
sering melakukan hal-hal yang bersifat fenomena bagi seorang politisi seperti
yang dilakukan Ridwan Kamil, Walikota Bandung ketika mengendarai sepeda ke
kantor Balai Kota Jalan wastu Kancana dari rumahnya di kawasan Cigadung dan
menjadi sopir angkota umum.[5]
Penggunaan media sosial misalnya facebook, twitter dan
youtube serta seluruh aksi diliput media cetak, radio dan televisi akan
membentuk pandangan masyarakat yang berimbas positif bagi seorang politisi.
Tetapi jika kemasan Branding
politik-nya kurang matang, maka tentu berdampak pada cemohan yang akan
diperoleh seorang politisi.
Demikian sekiranya ini berarti bagi para calon
kandidat yang akan berkompetisi pada Laga Politisi dalam Pemilihan Umum Tahun
2014 baik tingkat Kabupaten, Propinsi dan Pusat dilingkup lembaga Eksekutif dan
Legislatif (atau bahkan Yudikatif jika ada proses sama seperti itu).
Selamat mencoba!
Adriani GA Tobondo
Praktisi Branding
Politik dan Pengamat Sosial.
Kandidat Doktor Studi Pembangunan:
bidang kosentrasi Relasi Sosial (Interrelasi dan
Multirelasi),
Kebijakan dan Pembangunan Sosial
[1] http://www.merdeka.com/politik/tutup-rakernas-mega-tolak-difoto-salaman-dengan-jokowi.html
[2] http://politik.kompasiana.com/2013/09/20/sby-bombardir-jokowi-dengan-strategi-perang-kota-594242.html
[4] http://www.metrotvnews.com/metronews/read/2013/09/15/5/181669/Jokowi-Pilih-Blusukan-ketimbang-Lobi-Politik
[5] http://sosok.kompasiana.com/2013/09/20/ridwan-kamil-seleb-plat-merah-rival-baru-jokowi-591515.html