Anak Kampus CPC - Support us

Rabu, 09 April 2014

QUICK COUNT 9 APRIL 2014: PERMAINAN SEMAKIN MENARIK!



Perhitungan Cepat (Quick Count) sudah selesai, (1). PDI-P 18,80%, (2). Golkar 14,52%, (3). Gerindra 12,27%, (4). Demokrat 9,11%, (5). PKB 8,90%, (6). PAN 7,34% (7). Nasdem 6,92%, (8). PKS 5,90%, (9). PPP 5,41%, (10). Hanura 5,36%, (11). Partai Bulan Bintang 1,54%, (12). PKP 0,94%. 12 Partai yang berkompetisi meraih hati rakyat, tidak ada satu partai yang mencapai 20% atau diatas 20%.

Dilematika 20% President Treshold
Yusril Izha Mahendra, Partai Bulan Bintang menolak Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden karena menganggap bahwa hak konstitusionalnya dilanggar (baca: http://www.tribunnews.com/nasional/2013/12/13/yusril-president-threshold-langgar-hak-konstitusional-saya). Demikian pula Partai-partai Politik besar lainnya, tak terkecuali PDI-P yang menargetkan perolehan suara mencapai 27%, sukar untuk mencalonkan kandidatnya sebagai Calon Presiden mendatang. PDI-P berada diperingkat pertama pemenang versi Quick Count MetroTV bekerjasama dan Indikator Politik Indonesia dengan pencapaian skor perolehan suara 18,80%, disusul Golkar dan Gerindra serta Demokrat.

Dalam tulisan saya sebelumnya, ramalan ini tidak jauh berbeda dari gambaran Quick Count untuk peringkatnya yaitu (1). PDI-P, (2). Golkar, (3). PKB dan (4), Demokrat versi peringkat Quick Count (1). PDI-P, (2). Golkar, (3). Gerindra dan (4). Demokrat. Perbedaannya terletak pada cara penempatan dari aspek yang mendasari pemilihan, (1). Saya memperhadapkan posisi Gerindra dengan Latar Belakang Prabowo yang dinilai melakukan kesalahan di masa lalu, sehubungan dengan penculikan seperti beberapa catatan di media, sehingga posisi Gerindra digantikan oleh PKB dimana aspek pengaruh yang dipikir itu ialah figur seorang Gus Dur yang tentu saja besar pengaruhnya dan nomor urut yang dikaitkan dengan cara lebih mudah memilih dimana seseorang akan mencoblos nomor yang pertama dilihatnya. (2). Peringkat versi Quick Count untuk posisi Gerindra dan PKB versi Quick Count, dilakukan sesuai perolehan suara dari perhitungan di TPS dengan kemungkinan pertambahan angka ialah memungkinkan terjadi pertambahan lagi bilangan pecahannya. Dengan kata lain, masih ada kemungkinan pertambahan suara (real count) untuk setiap Partai Politik meski pun ada pertambahan bilangan pecahan tetapi sukar untuk mencapai 20%.

Mau tak mau, Partai besar sekalipun harus berkoalisi dengan Partai dibawahnya!

Jokowi Effect, Tidak Berlaku
Setelah dikeluarkannya mandat Megawati Ketua Umum PDI-Perjuangan soal pencapresan Jokowi, hampir disetiap hari hal ini mewarnai “halaman depan” pemberitaan nasional. Tak dipungkiri bahwa pemberitaan ini sangat merisaukan banyak Partai. Disisi lain, PDI-P dalam perolehan suara Pemilihan Legislatif, harus menerima kenyataan bahwa suaranya kurang dominan di beberapa titik Pulau Jawa dan demikian di Jakarta. Selain dari adanya pemberian sanksi publik berupa “hukuman politik” sejak Jokowi menerima mandat Megawati, PDI-P kekuatannya dipecahkan oleh lawan politik dengan membangun serta menemukan karakter yang sama bahkan melebihi figur seorang Jokowi. PDI-P juga kurang mendominasi sebagian besar Sulawesi, Papua, sebagian besar Kalimantan dan sebagian besar Sumatera serta Aceh. Bahkan pemikiran saya sebelumnya, Jokowi Effect , mampu menghilangkan Partai Nasdem di politik legislatif 2014, ternyata tidak benar! Justeru partai ini membawa kejutan besar, partai yang baru pertama kalinya ikut pada Pemilihan Legislatif 9 April 2014 tersebut mampu membawa 6,92%. Terlebih lagi Partai Gerindra dengan capaian suara 12,27%, sementara itu masyarakat Indonesia mengetahui hubungan kurang harmonis PDI-P dan Gerindra dimana sebagian besar masyarakat akan beranggapan bahwa Pencapresan Jokowi tentu menguras suara Gerindra sehingga usaha PDI-P dapat memperoleh suara 27% terwujud,  tetapi ini sama sekali tidak terjadi.

Bagaimana permainan akan datang?

Minggu, 06 April 2014

KEMATANGAN DAN KEDEWASAAN BERPOLITIK DIPERLUKAN SEBAGAI REFERENSI UNTUK PEMILIH



9 April 2014 mendatang, semua rakyat akan memilih individu dari suatu partai politik dan seluruhnya tentu saja memiliki sejumlah prestasi dan karya yang baik, sehingga wajar partai politik mencalonkan mereka untuk dipilih masyarakat. Para calon legislatif (kemudian disebut caleg) bertugas antara lain merancang atau menyetujui atau membentuk Undang-undang dan tentu saja bertugas untuk mengawal perjalanan bangsa dari negara kita tercinta, Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Antara Kenyataan dan Idealisme Perjuangan: Menuju Bangsa Yang Satu?
Tapi benarkah kita sendiri menjadi satu bangsa? Saya sendiri menganggap itu sukar dilakukan, meski benar beberapa momen bisa menjadikan kita satu tetapi pada momen lain membuat kita dapat dipecahkan menjadi beberapa bagian dari yang terkecil sampai yang terbesar.

“Pemikir handal” tentu menguasai keberagaman kita sendiri, sehingga sang “pemikir” mudah untuk memecahkan itu. Disisi lain demografi politik juga menjadi salah satu penentu kekuatan politik dan ironisnya jika ini dilakukan untuk gerakan demokrasi dengan memperkuat posisi tawar politik maka tentu realitanya adalah menabrak tembok yang besar. Jadi harus ada alternatif dan langkah strategis, setidaknya masih pada jalur dan tujuan yang sama yaitu mengutamakan persatuan serta kesatuan sebagai bangsa yang utuh.

Usaha-usaha yang dilakukan tidak bisa secara frontal, anarkis, dengki, iri dan marah tetapi harus dilakukan dengan terarah, beretika, profesional, jujur dan konsisten. Ini saja yang harus dilakukan. Jika seluruhnya didorong dengan sikap-sikap anarkis, dengki, iri dan marah, maka sudah pasti tidak akan membawa simpati kepada masyarakat. Jadi mengutarakannya juga harus baik dan jangan terkesan seperti ingin mencari tau sesuatu agar bisa memperoleh celah bagi seseorang untuk digunakan menjatuhkan atau melakukan penyerangan tertentu. Hal ini tidak perlu dilakukan. Kalau pun kita memaksa untuk melakukannya, yang jadi pertanyaan ialah apakah benar orang yang diperjuangkan tersebut akan membela atau menolong kita? Jika pun ya, hanya sebagian tokoh saja yang benar-benar membela secara langsung (fisik) atau benar-benar menolong secara langsung (fisik) dengan mengorbankan apa yang ada padanya.

Jika pun masyarakat sudah menemukan tokoh yang membela atau menolong secara langsung, sangat sukar dijamin bahwa ia  akan aman dalam perjalanannya, pasti tokoh tersebut mengalami berbagai rintangan dan godaan, tak terkecuali istilah populer black campaign. Satu-satunya menghindari ya jangan masuk di politik! Saya rasa semua tokoh politik mengalami itu!

Dominasi dan Perebutan Simpati Masyarakat
Persaingan politik tidak lagi dibangun untuk tujuan mensejaterakan tetapi lebih kepada upaya mendominasi dan merebut simpati masyarakat, meski kegiatan politik seperti kampanye benar merupakan usaha dari perebutan simpati masyarakat tetapi bukan berarti menjadikan segala sesuatu sebagai usaha untuk merebut kedudukan atau otoritas kewenangan tertinggi sehingga bisa mempengaruhi kebijakan dan tentu saja akan memperkuat basis kelompoknya. Cara-cara ini hanya akan menghasilkan gerakan balas dendam terhadap rejim ke rejim. Dengan demikian, para pemimpin dari kalangan elit politik mengajarkan kepada masyarakatnya pentingnya balas dendam dan secara tidak langsung mendorong pertumbuhan anarkisme serta kekerasan structural, melembagakan tradisi premanisme dan pemberlakuan prinsip-prinsip pembenaran.
Hemat saya, pilihlah partai politik dan tokoh politik Anda yang benar-benar dewasa serta matang dalam berpolitik dengan tidak lagi menggunakan kekuatan sendiri tetapi mampu memainkan kelemahannya menjadi kekuatannya sendiri serta mampu mengambil sari dari kekuatan lawan tanpa harus merusak lawan tersebut. Makna kematangan dan kedewasaan disini ialah jika seluruh proses sejak awal dan perkembangannya, benar-benar seluruh hal yang dilaluinya (partai atau tokoh politik) secara mandiri. Meski pun disadari bahwa hal yang dilaluinya itu banyak dijumpai kekurangan, tetapi setidaknya dari kekurangan itu ia bisa menyempurnakan. Inilah yang saya maksud sebagai SUARA RAKYAT.