Anak Kampus CPC - Support us

Sabtu, 21 Mei 2016

ANCAMAN BAGI ANAK

DSC_2919_20160521204112509.jpgTeringat nasihat dari Orangtua, ketika usia SAYA masih 13 tahun. Ayah berkata "Nak, kalau Papa dan Mama bisanya naik sepeda, kau diharapkan bisa naik motor, karena itu kau harus serius sekolah!..."

Tahun ke tahun, saya akhirnya menyadari jika pesan itu mengartikan kalau anak adalah investasi masa depan. Orangtua wajib memberikan jaminan kepada anak-anaknya, sehingga kelak dapat meraih masa depan. Jaminan itu bukan hanya materi, tapi perhatian dan pendampingan penuh kepada anaknya. Kita sudah memilih keputusan untuk menjadi Orangtua, maka kita harus konsisten dengan keputusan itu, terutama ketika diberikan karunia dari Tuhan yaitu anak, maka anak harus diperhatikan kehidupannya.

Sebaliknya, akibat dari gerak perkembangan zaman yang mempengaruhi gaya hidup masa kini, banyak terjadi kasus-kasus hubungan seks usia dini dan hamil diluar nikah yang disusul dengan sikap tidak bertanggung jawab. Sepasang kekasih, salah satunya hamil kemudian melahirkan, tanpa pikir panjang membuang anaknya sendiri. Ada diselokan, ada yang ditemukan pada pipa pembuangan WC, ada yang ditemukan warga di kebun-kebun dan sebagainya. Tidak hanya sampai disini saja, bahwa bayi yang baru dilahirkan seorang Ibu kemudian dijual kepada orang lain, bahkan dipersiapkan sebagai calon Pekerja Seks Komersial.

Menanggapi hal ini, bahwa sangat disayangkan sikap dari Orangtua itu atas apa yang dilakukan terhadap anak kandungnya sendiri. Sungguh ironis!

Perkembangan zaman dan kepadatan penduduk juga mengakibatkan pengaruh yang besar terhadap anak-anak., terkesan bahwa hak anak-anak mulai digeser. Sekarang ini sukar menemukan tempat bermain anak yang luas dan besar, mereka terhimpit pada pertumbuhan gedung-gedung bertingkat dan daya gantung atas penggunaan serta pengelolahan tanah. 

Dulu mereka mudah mencari tempat bermain, sekarang anak-anak sulit untuk mencari tempat bermain. Jika pun mereka sudah memperoleh tempat bermain, masih saja mereka tidak nyaman untuk bermain karena berbagai bahaya yang rentan terhadap mereka. Ancaman dan aksi teroris juga berdampak pada kenyamanan anak!
Ini masalah serius yang harus diperhatikan, sebab anak adalah masa depan bersama dan masa depan Negara! Jadi patut untuk diperhatikan!

Rabu, 04 Mei 2016

Profil Masalah Tentara dan Polisi di Indonesia

Beberapa tahun lalu, saya dimintai pendapat dari Koran Republik (online) sehubungan konflik TNI-POLRI. Dalam wawancara, saya mengemukakan bahwa konflik antara TNI-POLRI (baca: Tentara Indonesia dan Polisi Indonesia) adalah contoh yang buruk bagi masyarakat Indonesia. Sepertinya masalah (konflik) TNI - POLRI, tak kunjung berhenti dan berlanjut pada masa sekarang. "...silahkan browsing di internet untuk pastikan kebenaran dari pendapat saya, setiap website kita mudah jumpai kasus pertikaian antara TNI dan POLRI" jawab saya kepada mahasiswa (24 April 2016).

Kasus ini saya katakan kepada reporter Republik "contoh yang sangat buruk untuk masyarakat".

Pertikaian antar personil Tentara dan personil Polisi di Indonesia, sudah berlangsung sejak saya kanak-kanak. Ini maksudnya apa? Kok tidak pernah selesai perkaranya? Itu kejadian tahun 1980an, sekarang ini sudah tahun 2016 dan atas dasar itu, saya menilai ada sesuatu yang kurang diperhatikan sehubungan dengan kehidupan sosial Ketentaraan dan Kepolisian di Indonesia. Hal yang kurang diperhatikan itu, pikir saya merupakan penyebab ketegangan baik ketegangan dalam kehidupan Tentara dan ketegangan dalam kehidupan Polisi.

Negara harus lebih fokus memberikan stimulus-stimulus tertentu untuk para "Pelindung Negara", Tentara dan Polisi tidak hanya diberikan instruksi khusus yang sifatnya itu "keras", sekali-kali mereka (Tentara dan Polisi) diberikan ruang dan dijamin Negara untuk mengaktualisasikan dirinya masing-masing, sehingga mereka bisa rileks. Pekerjaan Tentara dan pekerjaan Polisi, bukan pekerjaan yang ringan tetapi pekerjaan yang berat. Dan saya pikir itu yang membentuk perilaku mereka terutama ketika berelasi dengan individu lain dari korps yang berbeda. Situasi tertentu misalnya ketika mereka (Tentara atau Polisi), tidak bertugas atau sedang tidak menangani kasus tertentu, mereka dipastikan menjadi cepat jenuh dan situasi ini dinilai kurang baik karena pasti dapat memancing situasi lain yang kurang enak dilihat publik Indonesia.

Apa yang dialami itu, harusnya situasi tersebut diperhatikan dengan cepat dan sigap. Diperlukan program dan kegiatan yang pas untuk Tentara dan Polisi yang arahnya itu dapat menjalin hubungan harmonis, menjalin keakraban antar korps, melepas sementara ketegangan masing-masing korps. Apakah Negara menyadari itu? Saya pikir ya!

ABRI/ POLRI
Dinamika konflik Tentara dan Polisi dari tahun ke tahun berbeda, terutama ketika mencermati hubungan Tentara dan Polisi yang masih satu atap di ABRI (Angkatan Bersenjata Republik Indonesia). Sekarang ABRI berdiri sendiri dengan elemennya yaitu Tentara Nasional Indonesia (TNI), sedangkan Polisi menjadi otonom kemudian tergabung pada korps mereka, POLRI (Kepolisian Republik Indonesia).

Dari patokan tersebut, saya kemudian melihat kembali hubungan Tentara dengan Polisi bahwa setelah setiap elemen berdiri sendiri-sendiri dengan kewenangannya yang bersifat otonom, maka muncul dipermukaan kasus-kasus ketegangan antara Tentara dan Polisi semakin banyak, dan situasi ini berbeda ketika masih satu atap di ABRI.

Saya menilai bahwa pemisahan tersebut kurang baik, selain menyebabkan munculnya ketegangan-ketegangan yang disinyalir berasal atau bermula dari pemisahan ABRI dan POLRI, pemisahan tersebut berpengaruh pada efesiensi keuangan Negara.

Belanja Negara menjadi berat karena harus membiayai 2 (Dua) korps. Dilihat dari kualitas pertahanan dan keamanan Negara, maka sudah pasti akan berpengaruh pada kualitas yang dimaksudkan. Jika ABRI/POLRI menjadi satu, sudah dipastikan bahwa Kepolisian pasti memiliki keahlian tempur dan sebaliknya Tentara dapat memiliki keahlian Polisi. Kita akan memperoleh double power untuk pertahanan dan keamanan Negara.

RADIKALISME, POLISI DAN TENTARA
Radikalisme dalam perjalanan dinamika sejarah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), bermula saat Darul Islam/ Tentara Islam Indonesia (DI/TII) melakukan gerakan-gerakan terencana dan sistematis. Tokoh utama DI/TII adalah Abdul Kahar Muzakar yang bertujuan untuk mendirikan atau membentuk Negara Islam Indonesia (NII). Muzakar adalah anggota TNI (Tentara), berpangkat Letnan Kolonel atau Overste.

Dari era DI/TII, radikalisme bertumbuh seperti jamur terutama menjelang detik-detik jatuhnya Orde Baru Soeharto. NKRI dinilai kecolongan karena saat itu kosentrasi Tentara dan Polisi lebih kepada menstabilkan kondisi Indonesia yang sedang rusuh, atau dikenal dengan Kerusuhan 1998.

Terganggunya stabilitas NKRI juga mengakibatkan kurang dikendalikan dengan baik situasi daerah-daerah administrasi NKRI misalnya konflik Poso 1998.

Konflik tersebut merupakan satu-satunya konflik terparah dan terpanjang, bahkan situasi tahun 2016 masyarakat Poso belum mendapat jaminan keamanan dan rasa nyaman untuk beraktifitas. Dari rentetan itu, Indonesia mengalami masalah pembangunan yaitu Radikalisme. Sementara disisi lain, Tentara dan Polisi diperhadapkan dengan persoalan geografi (khusus masalah Santoso Terorisme di Poso) yang secara umum wilayah Indonesia sebagian besar terdiri dari hutan-hutan lebat, pegunungan dan bukit serta jurang yang tajam, itu memberatkan Tentara dan Polisi melakukan pengejaran terhadap kelompok terorisme yang bersembunyi atau bergerilya di hutan-hutan misalnya pemburuan Santoso Terorisme Poso.

Lain sisinya, Tentara dan Polisi kurang dibekali dengan teknologi militer yang baik. Jika pun ada, teknologinya terbatas dan mahal. Perlu pendekatan kreatif untuk menghasilkan pendapatan yang menjamin aktifitas pengadaan teknologi perang atau teknologi militer. Ditambah lagi situasi sekarang bahwa Tentara dan Polisi, tidak lagi satu atap. Itu sangat memberatkan. (drtobondo)

Memburu Terorisme Poso Santoso

Tulisan berikut fokusnya pada Santoso, Terorisme Poso merupakan rintisan tulisan "Santoso: Aktor Papan Atas" yang dimuat pada blog ini.

Dari berita Kompas tentang Santoso, dikemukakan bahwa masa perburuan Santoso diperpanjang 2 (Dua) bulan ke depan. Episode perburuan tersebut masih sama dengan episode sebelumnya, TNI bersama-sama POLRI memburu Santoso. DETIK juga mengulas berita Santoso, dikemukakan bahwa telah ditangkap 2 (Dua) warga Riau yang akan bergabung (berencana) dengan kelompok Santoso. Usaha tersebut digagalkan oleh Djati.

Kasus kedua, penangkapan Ovan dan Dede warga Riau, menjelaskan bahwa Santoso memiliki pengaruh besar dalam mengajak orang bergabung. Ini berarti bahwa ada kelompok lain diluar dari kelompok Santoso yang sedang diburu TNI/POLRI. Kelompok tersebut umumnya berperan dalam merekrut dan usaha itu dilakukan dengan cara memberikan informasi (iklan) dari mulut ke mulut atau cara yang lebih moderen menggunakan media sosial seperti facebook dan twitter atau sejenisnya.

Pikir saya, selain hal yang tampak dari kasus kedua, maka sudah sangat jelas bahwa Poso dipilih sebagai basis dari pergerakan radikalisme agama. Lahannya sangat subur (wilayah Poso) disana untuk bisnis seperti terorisme.

Pandangan ini sudah saya kemukakan sejak lama, sekitar tahun 2008, bahwa Poso adalah wilayah uji coba kekuatan tertentu dimana kekuatan tersebut adalah kekuatan radikal. Sementara peristiwa ini dinilai saya sebagai bentuk pencemaran atas kewibawaan TNI/ POLRI sekaligus kewibawaan Negara. TNI/ POLRI atau Negara menghadapi tantangan dan cobaan yang besar, kewibawaan mereka (TNI, POLRI atau Negara) sedang diinjak oleh kelompok radikalisme agama.

Kelompok peneror menginginkan Negara lemah dan mengikuti kemauan mereka (Teroris).

Kembali pada kasus kedua dan sepak terjang Santoso, bahwa tidak menutup kemungkinan Santoso atau kelompok teroris lainnya yang ada di Poso keberadaan mereka (Santoso atau kelompok teror lainnya) dimungkinkan tetap ada, karena mungkin saja masyarakat mendukung baik disebabkan sikap berpihak atau terpaksa mendukung sebab takut menerima perlakuan tertentu yang tidak diinginkan, misalnya aksi pemenggalan kepala yang dilakukan oleh teroris Indonesia.

Sehubungan itu, harapannya Tentara dan Polisi atau dalam hal ini Negara dapat memberikan jaminan keamanan dan kenyamanan bagi masyarakat, bukan hanya mengupayakan keberhasilan misi perburuan Santoso. (drtobondo)

Bijak Memilih Perguruan Tinggi

Tidak terasa bagi siswa kelas 3 SMA/SMK sebentar lagi berpindah studinya di Perguruan Tinggi, ada yang memilih masuk Perguruan Tinggi Negeri dengan mengikuti SNMPTN, ada juga masuk Perguruan Tinggi Swasta, dan sebagian memilih tidak melanjutkan pendidikannya di Perguruan Tinggi. Dalam hal ini, perlu diketahui kiat-kiat memilih Perguruan Tinggi, sebagai berikut :

Sumber Daya Manusia
SDM menjadi dasar bagi individu untuk menentukan pilihannya. Sesuai aturan DIKTI bahwa dosen minimal harus pendidikannya S2 (Magister/ Master). Jika ada 10 fakultas dan 8 fakultas pendidikan dosen umumnya S2, 2 fakultas dosennya S3 maka pilihan baiknya dijatuhkan pada fakultas yang memiliki dosen pendidikan S3 (Doktor). Ini akan berpengaruh besar terhadap kredibilitas fakultas, terutama materi atau pengetahuan yang akan diterima individu bersangkutan ketika menempuh pendidikan S1 di suatu Perguruan Tinggi.

Hindari Fakultas/ Universitas yang banyak "Pungutan Tambahan" atau "Pungutan Liar"
Kalau saya calon mahasiswa S1, saya akan memeriksa atau mengecheck informasi terkait Perguruan Tinggi termasuk di dalamnya Fakultas-fakultas. Jika seandainya diperoleh informasi bahwa di Perguruan Tinggi tersebut banyak kali menarik pungutan tertentu (pungutan tambahan) yang dinilai kurang masuk akal, maka baiknya itu jadi bahan pertimbangan. Individu segera mengecheck fakultas-fakultas yang ada di Perguruan Tinggi tersebut, apa fakultasnya juga? Jika hanya ada 3 fakultas yang tidak menarik "pungutan tambahan" atau "pungutan liar", maka pilihan jatuh diantara 3 fakultas meski pun Perguruan Tingginya (mungkin tingkat Rektoratnya) banyak menarik "pungutan tambahan" atau "pengutan liar", itu dapat diantisipasi karena masih ada 3 fakultas yang dapat dikatakan jujur. Opsi lain, jangan memutuskan untuk kuliah di Universitas tersebut.

Memilih Fakultas Sesuai Kebutuhan Pasar
Supaya jangan rugi buang uang percuma untuk meraih gelar sarjana, penting bagi kita memilih fakultas sesuai kebutuhan pasar misalnya Geografi dan Bahasa Indonesia. Dua bidang studi ini sangat langka dan pasti ketika kita lulus dari salah satu bidang studi tersebut, sudah dipastikan akan mudah dapat kerja. Jadi uang tidak terbuang begitu saja.

Memilih Fakultas Sesuai Minat
Banyak rekan saya akhirnya kuliah tidak diminati karena fakultas yang dimasukinya bukan pilihan sendiri, alias pilihan orangtua. Jika kita minat pada seni, maka baiknya kita mencari bidang studi seni, bukannya masuk Bahasa Inggris. Itu kesalahan yang besar. Kasus lain biasanya kita memilih fakultas tertentu karena ikut-ikutan rame, artinya bahwa fakultas tersebut memang lagi trend dikalangan muda. Fakultas yang lagi naik daun, belum tentu menjamin masa depan bagi seseorang. Ini harus dihindari!

Memilih Berdasarkan Manfaat Yang Sama
Perguruan Tinggi baik swasta dan negeri, tidak dibedakan. Tujuannya sama yaitu menghasilkan para Sarjana (S1), S2, S3. Seringkali kita memilih Universitas dipengaruhi atau dilatarbelakangi gengsi sosial tertentu, padahal kita lupa bahwa hasil keluarannya sama yaitu sama-sama pegang ijasah dan transkrip nilai S1 atau S2 atau S3. Perbedaannya hanya terletak pada biaya pendidikan, ada Perguruan Tinggi 1 SKSnya itu mencapai Rp. 200.000 atau lebih, tetapi ada juga Perguruan Tinggi 1 SKSnya itu Rp. 40.000.

Perguruan Tinggi yang biayanya Rp. 200.000 per sks dan Rp. 40.000 per sks, dimata saya sama saja, karena outputnya juga sama, sama-sama menghasilkan ijasah dan transkrip nilai. Output yang dihasilkan itu merupakan modal untuk bekerja. Jika saya, maka saya memilih Perguruan Tinggi yang biayanya Rp. 40.000, status saya juga sama dengan lulusan Sarjana Rp. 200.000 per SKS, sama-sama Sarjana dan sama-sama mencari pekerjaan.

Selamat memilih dengan bijak untuk menempuh pendidikan lanjutan di Perguruan Tinggi. (drtobondo)

PILKADA (Pemilihan Kepala Daerah) Poso di Mata Saya

Baru kali ini dalam sejarah perpolitikan Pemilihan Kepala Daerah Poso, saya sama sekali harus bersikap bijak untuk menghormati Keempat Pasangan Calon yaitu pasangan Amjad, pasangan Djaru’u, pasangan Wirabumi, pasangan Darmin. Alasannya sederhana karena Amjad, Franny Djaru’u, Wirabumi dan Darmin seluruhnya memiliki hubungan kekerabatan dengan saya. Amjad, Frany Djaru’u, Wirabumi dan Darmin merupakan Paman saya, sementara Max Kaiya adalah ipar dan sepupuh saya. Jadi bisa dibayangkan hal yang dirasakan ini, sudah pasti berlaku dalam masyarakat Poso. Ini disebut sebagai “efek pecahan telur ayam” dari tangan Rombenunu, seorang raja pada masa klasik Poso.
Peristiwa yang dirasakan ini, kemudian mendorong berpikir ke depan bahwa penting bagi masyarakat Poso mendapatkan pendidikan politik. “Jangan karena politik, masyarakat dipecah belah dan dijadikan kuda lumping” ini pesan moral dari Empat Guru Besar, Prof. Amien Rais, Prof. Praktikno, Prof. Robert M. Lawang dan Prof. Liek Wiliardjo. Tentu saya tidak simpati jika masyarakat dipecah belah dan dijadikan kuda lumping. Calon Pemimpin yang bermain dengan cara-cara itu adalah Calon Pemimpin yang tidak memiliki kualitas daya saing yang baik. Parahnya, tanpa disadari masyarakat Poso bahwa “barang dagangan” tersebut hanyalah “barang daur ulang”. Kita harus belajar banyak dan mulai terdorong untuk mengembalikan kehormatan wilayah dan kehormatan masyarakat Poso!
Masyarakat Poso harus sadar dengan apa yang dipilihnya ke depan, bukan karena dorongan emosional tapi diharapkan karena ada dorongan rasional. Masyarakat Poso harus belajar dari masa ke masa, dan saya harus jujur bahwa pemerintah Kabupaten Poso sebelumnya sama sekali tidak menunjukkan hal spektakuler. Justeru sebaliknya, tindak kejahatan korupsi dan tindak kekerasan seksual serta kekerasan dalam rumah tangga meningkat tajam. Ini artinya apa? Ini adalah tanda bahwa masyarakat mengalami tingkat social stress yang tinggi, hidup tanpa harapan dan tanpa jaminan, meningginya tuntutan kebutuhan sementara sumber-sumber produktif tidak mendukung, banyaknya godaan yang datang, penyimpangan dari pertumbuhan penduduk yang tak sebanding, menipisnya kesempatan hidup layak secara sosial dan secara ekonomi, gagalnya program dan kegiatan Keluarga Berencana, tidak bekerjanya sistem kontrol sosial, kegagalan dari pendidikan agama dan kegagalan dari pendidikan keluarga. Saya pikir ini prioritas program kerja Bupati-Wakil Bupati Poso terpilih akan datang. Kalau tidak ada, ya sudah kewajiban sebagai warga Poso maka itu harus dibuat untuk masyarakat. Kita tidak butuh teori tapi aksi konkret! Untuk dapat mencapai hal yang konkret, maka dibutuhkan pemimpin yang memiliki kualitas spiritual, memiliki daya kreatif tinggi, cerdas dan tidak ekslusif juga bermental baja serta rendah hati dan anti korupsi! (drtobondo)