Anak Kampus CPC - Support us

Rabu, 04 Mei 2016

Profil Masalah Tentara dan Polisi di Indonesia

Beberapa tahun lalu, saya dimintai pendapat dari Koran Republik (online) sehubungan konflik TNI-POLRI. Dalam wawancara, saya mengemukakan bahwa konflik antara TNI-POLRI (baca: Tentara Indonesia dan Polisi Indonesia) adalah contoh yang buruk bagi masyarakat Indonesia. Sepertinya masalah (konflik) TNI - POLRI, tak kunjung berhenti dan berlanjut pada masa sekarang. "...silahkan browsing di internet untuk pastikan kebenaran dari pendapat saya, setiap website kita mudah jumpai kasus pertikaian antara TNI dan POLRI" jawab saya kepada mahasiswa (24 April 2016).

Kasus ini saya katakan kepada reporter Republik "contoh yang sangat buruk untuk masyarakat".

Pertikaian antar personil Tentara dan personil Polisi di Indonesia, sudah berlangsung sejak saya kanak-kanak. Ini maksudnya apa? Kok tidak pernah selesai perkaranya? Itu kejadian tahun 1980an, sekarang ini sudah tahun 2016 dan atas dasar itu, saya menilai ada sesuatu yang kurang diperhatikan sehubungan dengan kehidupan sosial Ketentaraan dan Kepolisian di Indonesia. Hal yang kurang diperhatikan itu, pikir saya merupakan penyebab ketegangan baik ketegangan dalam kehidupan Tentara dan ketegangan dalam kehidupan Polisi.

Negara harus lebih fokus memberikan stimulus-stimulus tertentu untuk para "Pelindung Negara", Tentara dan Polisi tidak hanya diberikan instruksi khusus yang sifatnya itu "keras", sekali-kali mereka (Tentara dan Polisi) diberikan ruang dan dijamin Negara untuk mengaktualisasikan dirinya masing-masing, sehingga mereka bisa rileks. Pekerjaan Tentara dan pekerjaan Polisi, bukan pekerjaan yang ringan tetapi pekerjaan yang berat. Dan saya pikir itu yang membentuk perilaku mereka terutama ketika berelasi dengan individu lain dari korps yang berbeda. Situasi tertentu misalnya ketika mereka (Tentara atau Polisi), tidak bertugas atau sedang tidak menangani kasus tertentu, mereka dipastikan menjadi cepat jenuh dan situasi ini dinilai kurang baik karena pasti dapat memancing situasi lain yang kurang enak dilihat publik Indonesia.

Apa yang dialami itu, harusnya situasi tersebut diperhatikan dengan cepat dan sigap. Diperlukan program dan kegiatan yang pas untuk Tentara dan Polisi yang arahnya itu dapat menjalin hubungan harmonis, menjalin keakraban antar korps, melepas sementara ketegangan masing-masing korps. Apakah Negara menyadari itu? Saya pikir ya!

ABRI/ POLRI
Dinamika konflik Tentara dan Polisi dari tahun ke tahun berbeda, terutama ketika mencermati hubungan Tentara dan Polisi yang masih satu atap di ABRI (Angkatan Bersenjata Republik Indonesia). Sekarang ABRI berdiri sendiri dengan elemennya yaitu Tentara Nasional Indonesia (TNI), sedangkan Polisi menjadi otonom kemudian tergabung pada korps mereka, POLRI (Kepolisian Republik Indonesia).

Dari patokan tersebut, saya kemudian melihat kembali hubungan Tentara dengan Polisi bahwa setelah setiap elemen berdiri sendiri-sendiri dengan kewenangannya yang bersifat otonom, maka muncul dipermukaan kasus-kasus ketegangan antara Tentara dan Polisi semakin banyak, dan situasi ini berbeda ketika masih satu atap di ABRI.

Saya menilai bahwa pemisahan tersebut kurang baik, selain menyebabkan munculnya ketegangan-ketegangan yang disinyalir berasal atau bermula dari pemisahan ABRI dan POLRI, pemisahan tersebut berpengaruh pada efesiensi keuangan Negara.

Belanja Negara menjadi berat karena harus membiayai 2 (Dua) korps. Dilihat dari kualitas pertahanan dan keamanan Negara, maka sudah pasti akan berpengaruh pada kualitas yang dimaksudkan. Jika ABRI/POLRI menjadi satu, sudah dipastikan bahwa Kepolisian pasti memiliki keahlian tempur dan sebaliknya Tentara dapat memiliki keahlian Polisi. Kita akan memperoleh double power untuk pertahanan dan keamanan Negara.

RADIKALISME, POLISI DAN TENTARA
Radikalisme dalam perjalanan dinamika sejarah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), bermula saat Darul Islam/ Tentara Islam Indonesia (DI/TII) melakukan gerakan-gerakan terencana dan sistematis. Tokoh utama DI/TII adalah Abdul Kahar Muzakar yang bertujuan untuk mendirikan atau membentuk Negara Islam Indonesia (NII). Muzakar adalah anggota TNI (Tentara), berpangkat Letnan Kolonel atau Overste.

Dari era DI/TII, radikalisme bertumbuh seperti jamur terutama menjelang detik-detik jatuhnya Orde Baru Soeharto. NKRI dinilai kecolongan karena saat itu kosentrasi Tentara dan Polisi lebih kepada menstabilkan kondisi Indonesia yang sedang rusuh, atau dikenal dengan Kerusuhan 1998.

Terganggunya stabilitas NKRI juga mengakibatkan kurang dikendalikan dengan baik situasi daerah-daerah administrasi NKRI misalnya konflik Poso 1998.

Konflik tersebut merupakan satu-satunya konflik terparah dan terpanjang, bahkan situasi tahun 2016 masyarakat Poso belum mendapat jaminan keamanan dan rasa nyaman untuk beraktifitas. Dari rentetan itu, Indonesia mengalami masalah pembangunan yaitu Radikalisme. Sementara disisi lain, Tentara dan Polisi diperhadapkan dengan persoalan geografi (khusus masalah Santoso Terorisme di Poso) yang secara umum wilayah Indonesia sebagian besar terdiri dari hutan-hutan lebat, pegunungan dan bukit serta jurang yang tajam, itu memberatkan Tentara dan Polisi melakukan pengejaran terhadap kelompok terorisme yang bersembunyi atau bergerilya di hutan-hutan misalnya pemburuan Santoso Terorisme Poso.

Lain sisinya, Tentara dan Polisi kurang dibekali dengan teknologi militer yang baik. Jika pun ada, teknologinya terbatas dan mahal. Perlu pendekatan kreatif untuk menghasilkan pendapatan yang menjamin aktifitas pengadaan teknologi perang atau teknologi militer. Ditambah lagi situasi sekarang bahwa Tentara dan Polisi, tidak lagi satu atap. Itu sangat memberatkan. (drtobondo)

Tidak ada komentar: