Anak Kampus CPC - Support us

Sabtu, 21 September 2013

MASA DEPAN POSO ADA DITANGAN SIAPA? Kisi-kisi Sosiologi dalam Memilih Pemimpin



Dalam kapasitas sebagai Pengamat Sosial., SAYA belum melihat masa depan Poso sehingga wajar jika bertanya “siapa yang berperan kuat memberikan jaminan bagi terwujudnya masa depan Poso sesuai harapan bersama”.
Pastinya jawaban yang muncul itu beraneka-macam, (1). seorang Kepala Daerah akan menganggap bahwa ini sangat ditentukan oleh besaran Pendapatan Asli Daerah dan kinerja instansi pemerintah setempat yang terkoordinasi secara baik. Itu juga dipandang benar!
Jawaban berikutnya : (2). masyarakat akan memandang bahwa ini sangat ditentukan oleh kecakapan Kepala Daerah dan Instansi pemerintah setempat untuk terpanggil menata masa depan Poso akan datang. Itu juga dinilai benar!
Jawaban versi lainnya : (3). kelompok akademisi dan praktisi sosial mengemukakan pemikiran bahwa seluruhnya tergantung hubungan internal masyarakat dan hubungan eksternal masyarakat yang ditunjang oleh kemampuan memfasilitasi hubungan-hubungan tersebut baik oleh perangkat eksekutif maupun perangkat legislatif. Ini juga tidak salah!
Disisi lain, kemungkinan jawaban yang akan muncul seperti ini : (4). semuanya tergantung dari para aktor (eksekutif, legislatif dan aktor diluar struktur formal misalnya tokoh masyarakat), mereka banyak relasi tidak? Kalau tidak, maka sulit bagi Poso untuk meraih masa depannya. Mmmmm….. ini ada benarnya!
Masa depan wilayah tak selamanya tergantung dengan uang!
Ada sejumlah kasus (pembelajaran) yang ingin SAYA paparkan disini dan hal tersebut menunjukkan bahwa uang tidak selamanya menentukan masa depan. Sebaliknya justeru terjadi bahwa uang menimbulkan banyak masalah.
Berbicara mengenai modal membangun berarti kita akan melihat ragam potensi lokal dan potensi terbesar itu ialah modal sosial yang diartikan sebagai ikatan komunal yang kuat berbasis karakter sosial budaya pada masyarakat setempat. Kita pasti mengenal lebih baik modal sosial itu, beberapa kelompok sosial mengenalnya dalam bentuk saparan, merti dusun, jagongan bayi, tirakatan, posintuwu dan mesale. Dalam agama misalnya agama Islam mengenal sebagai bentuk gerakan Al-Tadjid dan Al-Ma’un serta agama Kristen memiliki basis modal sosial dikenal dengan bentuk Hukum Kasih.
SAYA pribadi tertarik untuk mempelajari modal sosial diawali oleh pemikiran mendasar tentang kemiskinan. Asumsinya sederhana, jika orang dikatakan miskin dengan berbagai kriteria (khususnya tidak memiliki penghasilan yang pasti) seharusnya jumlah orang miskin akan berkurang bukan karena mereka sudah sejahtera tetapi karena kematiannya. Logikanya mudah, orang miskin tidak memiliki banyak uang sehingga sulit untuk bertahan hidup sehingga mereka tidak mungkin bertahan lama. Sebaliknya, orang miskin bertambah banyak dan mereka tetap eksis dipermukaan sosial untuk menuntut hak hidup kepada Pemerintah atau Pemangku Kepentingan (stakeholders) yang ada.
Jika pun mereka (orang miskin) meminjam kemudian dikatakan bahwa itu merupakan jaminan hidup sehingga mereka bisa bertahan hidup. Itu juga belum tentu benar, justeru peminjam uang terbesar berasal dari kalangan mampu bukan dari kalangan orang miskin. Sungguh luar biasa jika ada pihak peminjam berani membuka kesempatan bagi orang miskin yang tidak memiliki jaminan apa pun untuk meminjam uang. Di Indonesia itu tidak mudah atau diragukan terjadi.
Level mikro., modal sosial terbentuk karena adanya relasi lebih dari dua orang. Ikatan komunal awal yang terbentuk ialah Perasaan Senasib dan Sepenanggungan kemudian menjadi perilaku nyata yang dimotori oleh nilai-nilai sosial budaya (agama termasuk di dalamnya). Setiap individu memberikan potensi-potensi yang ada untuk menjamin infrastruktur relasi sehingga terbentuk pola kekerabatan dan pola kekeluargaan, pola pertemanan dan pola komunikasi resiprositas (berhubungan timbal balik).
Hubungan berpola pada proses pengentalan modal sosial tidak bersifat cost and benefit (untung-rugi) tetapi take and give (memberi-menerima) dimana akan terbentuk semacam kontrak sosial berisi sejumlah aturan yang harus (tidak ada pilihan) disepakati bersama oleh setiap individu dalam relasi berpola itu.
Contoh, sepasang manusia menjalin hubungan lebih serius ke jenjang pernikahan. Mereka merupakan keluarga kurang mampu karena berpenghasilan tidak pasti. Pihak keluarga pun menyampaikan rencana pernikahan kedua anaknya, seketika akan terkumpul sejumlah uang yang berasal dari:
  • Pihak Laki-laki dari keluarga Bapak Mempelai Laki-laki. Jika keluarga dari Bapak Mempelai Laki-laki berjumlah 1800 keluarga dan masing-masing mengumpulkan posintuwu Rp. 50.000 maka akan terkumpul Rp. 90.000.000. Nilai ini akan bertambah lebih banyak jika Bapak itu aktif mengikuti undangan dan memberikan posintuwu, meski pun jumlah yang mampu diberikan si Bapak adalah Rp. 10.000.
  • Pihak Laki-laki dari keluarga Ibu Mempelai Laki-laki. Jika keluarga dari Ibu Mempelai Laki-laki ini berjumlah sama dengan keluarga suaminya, maka akan terkumpul total jumlah uang yang sama Rp. 90.000.000.
  • Demikian juga dengan pihak keluarga Mempelai Perempuan, jumlah uang yang diperoleh akan bertambah banyak.
Hal ini menunjukkan bahwa modal sosial sebagai dasar kuat untuk menjamin kelangsungan hidup bahkan tidak menutup kemungkinan itu adalah syarat mutlak menuju kesejahteraan. Tetapi keseluruhan itu sangat tergantung oleh individu masing-masing apakah dirinya aktif berperan dalam kegiatan-kegiatan tertentu (posintuwu), kurang sama sekali atau tidak sama sekali.
Dalam kasus berbeda, jika seseorang tidak memiliki uang untuk berperan serta pada kegiatan-kegiatan tertentu dan dirinya hanya memberikan jasa berupa tenaga sehingga bisa berperan pada kegiatan itu, maka jasanya akan diperhitungkan dan pihak penerima jasa tersebut akan membantu seseorang yang telah berjasa itu baik berbentuk uang atau balas jasa (tenaga).
Disini dibutuhkan kemampuan matang dan serius oleh Pemerintah atau Pihak berkompeten untuk mengatur serta mengimplementasikan potensi-potensi, jaringan infrastruktur relasi dari modal sosial sebagai bentuk kebijakan inovatif yang kreatif dan berdaya kuat.
Pengalaman luar biasa juga SAYA temukan di Kabupaten Jembrana, Bali. Jika dibanding dengan Poso, maka Poso jauh lebih baik dari Jembrana sebagai contoh kendaraan dinas Bupati Jembrana – Bali hanya menggunakan mobil Hartop Toyota.[1]

SAYA juga memperoleh informasi bahwa Bupati Jembrana memutuskan untuk menggunakan kendaraan yang ada pada masyarakat dengan cara menyewa. Bagi SAYA, ini merupakan terobosan untuk memanfaatkan serta membangun infrastruktur relasi penunjang modal sosial sekaligus membangun trust (kepercayaan) yang tidak sekedar main-main serta mampu mengajak masyarakat mendayagunakan potensi yang ada. Kabupaten Jembrana mencari dan menjalin hubungan relasi dengan berbagai pihak untuk mau berinvestasi pada bidang pendidikan dan kesehatan. Khususnya pendidikan, Kabupaten Jembrana secara merata memberikan beasiswa kepada peserta didik dimana pun ia menempuh pendidikan atau Perguruan Tinggi.
Lembaga penyelenggara pendidikan, tak pernah sekalipun didiskriminasi, semuanya sama diperlakukan secara adil dan merata. Hasilnya, Jembrana jauh lebih baik dari Poso!
Koordinasi yang baik belum tentu menjamin masa depan wilayah!
Ada singkatan/ istilah dalam masyarakat kita (umum di Indonesia), ABS atau Asal Bapak Senang. Istilah “ABS” tidak timbul dengan sendirinya karena ada sesuatu hal yang telah berlangsung. Jadi cukup beralasan “ABS” itu lebih populer daripada kecap ABC. Mengapa “ABS” populer?
Kemungkinan saja ini dilakukan untuk mendapatkan “penilaian baik” dari pimpinan atau pimpinan yang mengharuskan untuk melakukan apa yang diinginkannya, versi lain ialah bawahan yang diperintah tidak ingin repot untuk berpikir dan merealisasikan perintah. Salah satu atau seluruhnya bisa saja terjadi dalam suatu lembaga.
Terpenting bagi kita tahu bahwa “ABS” timbul dari lingkungan kepemimpinan yang dinilai otoriter atau dictator. Koordinasi tidak dilihat sebagai komunikasi yang sehat tetapi komunikasi dibawah tekanan. Koordinasi seperti itu cenderung memunculkan pola-pola tidak demokratis dan arahnya untuk kepentingan politis semata bukan kepentingan sosial.
Disisi lain, meski pun koordinasi sudah baik dan dilakukan tanpa tekanan itu pun belum menjamin masa depan wilayah dan masyarakat karena dinilai terlalu boros menggunakan waktu hanya habis pada pelaksanaan rapat-rapat koordinasi misalnya membahas kemiskinan! Sementara itu, sebagian besar peserta rapat bukan berasal dari orang miskin tetapi individu yang memiliki kemampuan ekonomi cukup baik.
Singkatnya, “bagaimana kita memahami kemiskinan sementara orang yang diminta ikut dalam kegiatan koordinasi ialah orang berkemampuan? Hanya orang miskin yang tahu kemiskinan dan cara dia survive (bertahan)!” Jika ingin menyelesaikan kemiskinan, maka hiduplah dengan orang miskin agar bisa merasakan kemiskinan sehingga memperoleh jalan keluar untuk mensejahterakan masyarakat.
Masa depan wilayah bukan semata-mata menjadi beban Kepala Daerah dan Instansi Pemerintahan setempat!
Kita tidak bisa menyalahkan jika masyarakat atau kelompok tertentu memandang bahwa urusan masa depan itu sepenuhnya menjadi beban Kepala Daerah (atau Presiden) dan Instansi Pemerintahan bersangkutan.
Ketika masyarakat menaruh kepercayaan kepada seseorang dengan cara memilih seseorang, maka sejak itu masyarakat memiliki pandangan bahwa seluruhnya menjadi kewajiban (bukan semata-mata tanggung jawab) orang pilihannya. Ini dipandang sebagai tantangan bagi seorang pemimpin dan dibutuhkan sikap serius untuk menanggapi serta menghasilkan hal positif. Tapi kita juga dituntut harus sadar bahwa tujuan membangun kehidupan lebih baik itu merupakan tujuan bersama.
Pertanyaannya bagaimana memulai itu sementara kondisi sosial : keragaman, kerapatan serta wilayah dari kerapatan sosial, zona gesekan kerapatan dan ragam instrumen kebutuhan sangat variatif (beraneka macam). Anggap saja ini PR bagi Calon Kepala Daerah mendatang atau Kepala Daerah yang terpilih, organisasi sosial yang ada dan praktisi-praktisi lainnya.
Fasilitator-fasilitator Hubungan belum cukup kuat menjamin masa depan wilayah!
Ketika ada pemikiran sehubungan dengan pembentukan fasilitator-fasilitator berasal dari lingkup eksekutif dan legislatif, maka secara teknis pembentukan media yang memfasilitasi hubungan internal dan eksternal masyarakat bermasalah pada pembiayaannya, pengaturan kepanitian, penetapan jadwal dan tempat berlangsungnya, proses pengambilan keputusan dan sebagainya.
Diranah publik (mis. kalangan Akademisi dan Praktisi) itu memungkinkan dilakukan sebab pandangan mereka (Akademisi dan Praktisi) kedua lembaga formal (eksekutif dan legislatif) memiliki sumber-sumber pendanaan. Jadi cukup mungkin diimplementasikan ide itu. Tetapi pikir SAYA, itu merupakan pemborosan biaya dan membuang energi yang semestinya tidak perlu sampai seboros itu. Masih ada permasalahan krusial lainnya yang membutuhkan biaya cukup tinggi dan pemikiran (energi) sangat besar.
Indikasi Pasti : aktor harus memiliki jejaring relasi kuat sebagai jaminan masa depan wilayah!
SAYA pribadi memandang bahwa jawaban terakhir (point 4) sangat logis dan kuat dalam menjawab “MASA DEPAN POSO ADA DITANGAN SIAPA?”
Setiap kita (umum) pastinya memiliki relasi (hubungan) dengan orang lain, tapi tidak semua orang pada jejaring relasi aktor berkompeten sebagai jaminan masa depan wilayah. Ini juga sangat tergantung pada latarbelakang individu (relasi aktor dengan individu berkompeten) di jejaring relasi masing-masing (aktor, khusus) dan tergantung dari latarbelakang serta rekam jejak aktor yang berelasi dengan individu berkompeten sebagai jaminan masa depan wilayah.
Pemikiran ini tak berbeda dari relasi sosial budaya pada masyaraka Jawa dimana seorang priyayi atau santri membuka kesempatan kepada kelompok abangan untuk meraih sukses serta kedudukan yang sama dengan mereka (santri atau priyayi) sehingga seorang abangan bisa berpeluang menjadi priyayi. Dalam masyarakat Jawa dikenal budaya ngenger yakni orang yang ingin sukses seperti priyayi akan tinggal bersama dengan priyayi dan belajar dari priyayi maka individu bersangkutan akan menyerahkan hidupnya kepada Bendoro (orang yang sukses). Hubungan Bendoro dengan abangan adalah hubungan timbal balik (resiprositas) yang dibangun pada ikatan emosional dari modal sosial. Hubungan mereka tidak dapat dirusak dengan berbagai cara dan berbagai pendekatan karena bendoro dan abangan sudah seperti saudara kandung; masalah yang dihadapi abangan juga masalah bagi seorang bendoro dan sebaliknya masalah bendoro ialah masalah bagi abangan.[1]
SAYA memandang bahwa orang Pamona juga memiliki hal serupa dengan masyarakat Jawa untuk studi hubungan berpola tersebut, meski secara populasi orang Pamona lebih bervariasi (banyak rumpunnya) dari masyarakat Jawa., sebut saja rumpun Pebato yang serupa dengan kultur masyarakat terkait pola relasi bersifat fleksibel, terbuka dan lebih merata.
Sayangnya, tidak semua bisa memainkan peran itu dan keragaman rumpun Pamona menjadi persoalan analitis untuk bisa merekayasa hubungan berpola yang serupa sehingga aktor memiliki kemampuan sama dari aktor yang memiliki kemampuan itu.
Siapakah aktor itu? Masyarakat Poso pasti sudah mengetahuinya. Tak sedikit prestasi dan karya nyatanya yang kini bisa dirasakan semua lapisan dan semua kelompok masyarakat di Poso. Selamat merenung dan memilih dengan benar. Sampai ketemu di Pemilihan Umum Masa Mendatang. Bijaklah melihat calon pemimpinmu baik di eksekutif dan di legislatif!


[1] Lihat lebih jelas karya-karya spektakuler dalam penelitian sosial atau narasi empiris dari Gertz (tahun 1960), Jay (tahun 1969) dan Kayam (tahun 2003). Bagian ini bersumber dari narasi empiris ketiga tokoh utama relasi berpola.

[1] Kemungkinan besar hanya Jembrana, mobil dinas Bupati adalah Hartop Toyota dan menyewa fasilitas penunjang milik masyarakat setempat. Diluar dari Bupati Jembrana, sukar untuk ditemukan. Bagaimana dengan Poso?