Anak Kampus CPC - Support us

Jumat, 20 September 2013

SULAWESI TENGAH DAN PEMILIHAN UMUM TAHUN 2014 : Memahami Relevansi Pelaksanaan PEMILU dalam Hubungannya dengan Kedudukan Politik Sulawesi Tengah


Pesta Rakyat Indonesia tahun 2014 akan dimeriahkan oleh 15 Partai Peserta Pemilihan Umum terdiri dari Partai Nasdem (1), Partai Kebangkitan Bangsa (2), Partai Keadilan Sejahtera (3), PDI-Perjuangan (4), Partai Golongan Karya (5), Partai Gerakan Indonesia Raya (6), Partai Demokrat (7), Partai Amanat Nasional (8), Partai Persatuan Pembangunan (9), Partai Hati Nurani Rakyat (10), Partai Damai Aceh (11), Partai Nasional Aceh (12), Partai Aceh (13), Partai Bulan Bintang (14), Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia (15).[1]
Dalam mempersiapkan tata penyelenggaraan yang baik sebagai sikap apresiasi Pesta Rakyat Tahun 2014, maka sejumlah usaha telah dimulai yakni penetapan Daftar Calon Tetap Anggota Legislatif tingkat Daerah, Propinsi dan Pusat juga tak ketinggalan Calon Presiden-Calon Wakil Presiden Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Tetapi perlu diingat bahwa PEMILU bukanlah sekedar pesta biasa, tetapi perlu kita renungkan ialah apa relevansinya bagi pembangunan wilayah di Sulawesi Tengah?
Hal yang Benar dibalik Kekeliruan Masyarakat terhadap “Profil” Calon Legislatif
SAYA bercakap-cakap dengan seorang Calon Legislatif (CALEG) di DPR-RI dari salah satu Partai Politik terkuat. Percakapan ini dimulai ketika SAYA sengaja mengupload status di group facebook tertulis “moral politik yang baik ditentukan oleh aktor politik yang baik”. Tujuannya untuk mencari tahu bagaimana gambaran sikap para anggota di group tersebut. Salah seorang anggota berkeinginan agar ada visi dan misi serta sesuatu yang bisa dilakukan bagi masyarakat umum juga konstituennya di daerah pemilihan (DAPIL) merupakan hal yang substansial dari seorang CALEG.
Sementara itu, idealnya bahwa CALEG tak terlepas dari fungsi-fungsi utamanya antara lain legislasi serta pengawasan. Keinginan dari anggota di group facebook itu (dan disusul oleh beberapa orang lainnya) sebenarnya menjadi bagian dari kapasitas Calon Eksekutif seperti Calon Bupati-Calon Wakil Bupati atau Calon Presiden-Calon Wakil Presiden karena peran eksekutif lebih kepada penyelenggaraan pembangunan.
Seorang Tim Sukses dari CALEG di DPR-RI itu memberi tahu kepada CALEG bersangkutan kemudian Beliau menghubungi via ponsel. Dalam diskusi, CALEG itu berpendapat “saya kurang tahu kenapa bisa seperti itu jadinya, ini kan proses ke legislatif bukan ke eksekutif. Mohon maaf Donny, jangan simpan dihati tanggapan beberapa orang di group itu! Kita harus buat penyuluhan secara tidak langsung untuk mengklarifikasi kekeliruan tersebut”
SAYA pun menanggapi “Bagaimana ya Om, kita tidak bisa menyalahkan sikap yang mengomentari itu! Disisi lain kita benar karena legislatif kan sudah jelas fungsi-fungsi utamanya dan dilain sisi kita harus menelusurinya apa alasan utama dibalik komentar mereka: anggap saja ini bagian dari ekspresi orang lain dalam percakapan mereka atau mereka (yang memberi komentar) mendengar isu-isu menarik seputar maraknya orang menjadi CALEG. Percakapan itu saya anggap biasa saja, Om tetapi penting bagi saya!”
Bagi SAYA ada hal yang benar dibalik kekeliruan masyarakat terhadap profil CALEG. Umumnya, masyarakat mengetahui bahwa CALEG atau seorang legislatif ialah wakil mereka (masyarakat) dan wakil itu harus memenuhi kebutuhan mereka sebab mereka sudah memilih. Ini tidak berbeda dari pandangan mereka terhadap profil CALON BUPATI-CALON WAKIL BUPATI bahkan CALON PRESIDEN-CALON WAKIL PRESIDEN, para calon kandidat itu merupakan wakil mereka.
Dalam kasus ini, masyarakat hanya mengetahui bahwa mereka memiliki wakil di parlemen atau pemerintahan sehingga mereka (masyarakat) menyama-ratakan kedudukan dan fungsi-fungsi seorang wakil masyarakat, tanpa memperdulikan terminologi tentang “legislatif” dan “eksekutif”. Kita tidak bisa menyalahkan itu!
Pertanyaan paling mendasar yakni “mengapa hal ini muncul?” Maka beberapa jawaban dibawah ini kiranya dapat menjelaskan latarbelakang kasus sekaligus fenomena menarik itu :
·         Krisis kepercayaan. Sikap ini bersumber dari beberapa penilaian masyarakat terhadap sejumlah kasus yang tidak diharapkan mereka (masyarakat) dalam perjalanan kehidupan sosial-ekonomi dan sosial-budaya serta sosial-politik yakni korupsi dan perselingkuhan atau perbuatan asusila serta sikap cemas pada karakter yang dinilai “fundamental” berbasis pada paham tertentu. Penilaian lainnya, masyarakat menganggap bahwa ada dua kelompok yakni kelompok yang diuntungkan meliputi mereka yang memilih seorang calon baik berdasarkan wilayah atau langsung ke individu yang memilih calon tersebut., Dan kelompok yang kurang diuntungkan yakni mereka yang tidak memilih calon tersebut dimana memilih calon lain, sementara calon yang dipilih mereka dinyatakan kalah suara. Jadi cukup beralasan bahwa mereka bersikap kurang percaya terhadap profil CALEG dan meminta dijelaskan “apa yang bisa diperbuat” seandainya kami memilih anda!
·         Kesadaran Politik Masyarakat dalam Pembentukan Bargaining Politik. Masyarakat mulai sadar bahwa ada pergeseran mendasar pada dunia politik praktis sehubungan dengan Pemilu yaitu semula kedudukan di panggung politik ialah “jabatan moral” kini berubah ke “jabatan profesi”. Jabatan moral lebih menekankan pada fungsi dan kapasitas wakil masyarakat sebagai aktor yang berperan memenuhi kebutuhan masyarakat, sedangkan jabatan profesi lebih mengarah pada kedudukan aktor di dunia politik praktis dalam kaitannya dengan kompensasi (keuntungan) yang akan diperoleh ketika masuk ke dunia politik praktis. Atas dasar ini, masyarakat memperkuat posisi tawar politik (bargaining politik) yang mendorong dibuatnya kontrak sosial terkait kebutuhan yang diinginkan masyarakat bahkan tidak menutup kemungkinan masyarakat tidak akan memilih (golput).
·         Kebutuhan Masyarakat Meningkat. Masyarakat umumnya membutuhkan bantuan-bantuan yang sifatnya dirasakan langsung dimana perbaikan ekonomi rumah tangga masih dominan berpengaruh besar terhadap perilaku politik. Kebutuhan akan adanya upaya perbaikan ekonomi rumah tangga antara lain menyangkut pemberian modal usaha dan kesempatan bekerja (lapangan pekerjaan yang memadai). Dua bagian ini sangat penting bagi masyarakat untuk dapat memperoleh penghasilan yang layak sehingga mereka (masyarakat) bisa berpendidikan pendidikan dan memiliki kesehatan yang baik pula. Kebutuhan sekunder lainnya ialah infrastruktur pembangunan seperti jaminan rasa aman, jalan atau jalur-jalur ekonomi yang ditata baik, pembangunan sejumlah pusat-pusat pendidikan, pembangunan sejumlah pusat-pusat aktifitas ekonomi dan rekreasi. Seluruh kebutuhan diharapkan dapat disalurkan merata, tidak hanya ada di pusat wilayah (Propinsi dan Kabupaten) tetapi masuk di daerah-daerah penyangga pusat wilayah (desa-desa).
Kedudukan Politis Sulawesi Tengah ditengah 3 (Tiga) Partai Politik di Aceh dan Pemilihan Umum Tahun 2014
Pemilu dilaksanakan untuk memilih wakil yang tepat baik eksekutif maupun legislatif. Para calon tidak hanya mahir memainkan visi dan misi tetapi harus didukung oleh keahlian-keahlian sebagai jaminan bagi masyarakat yang kelak memilihnya. Keahlian tersebut harus ditunjang oleh prestasi dan karya yang nyata, tidak sekedar “isapan jempol” belaka. Keahlian yang dimaksudkan ialah kemampuan berdiplomasi dan berkomunikasi lintas kelompok, sehingga harapannya keahlian yang dimiliki tersebut membawa perubahan positif bagi masyarakat dan pembangunan di daerah. Jika pun ada calon yang tidak memiliki keahlian dalam hal kemampuan berdiplomasi dan berkomunikasi tetapi sekedar memiliki relasi yang besar, maka itu sama saja bohong!
Aspek penentu lainnya bahwa seorang calon harus benar-benar bersih dari tindak korupsi, bebas dari kasus atau fenomena tertentu yang berpengaruh pada perilaku politiknya ketika individu bersangkutan ada di dalam lingkungan eksekutif atau lingkungan legislatif dan memandang jabatannya tidak sekedar jabatan profesi tapi jabatan moral. Harapan lain bahwa seorang calon harus memiliki kesadaran kebangsaan yang besar sebagai bangsa yang satu.
Posisi Sulawesi Tengah (demikian juga posisi Propinsi lainnya diluar Aceh) perlu dipertanyakan dalam perpolitikan Pemilu 2014 sebab eksistensi 3 (tiga) Partai Politik lokal: Partai Damai Aceh, Partai Nasional Aceh dan Partai Aceh akan lebih terasa efek positifnya bagi daerah Aceh. Kesan publik Aceh bahwa eksistensi ketiga partai itu dapat menjaring dan merealisasikan aspirasi masyarakat Aceh serta kepentingan politis Aceh. Eksistensi ketiga Partai Politik tersebut juga sebagai “pesaing” terberat 12 Partai lainnya di Aceh.
Sementara itu, Sulawesi Tengah sama sekali tidak memiliki Partai Politik bernamakan wilayah sendiri sebagai contoh “Partai Sulawesi Tengah” tetapi suara rakyat Sulawesi Tengah akan menyebar pada 12 Partai peserta Pemilu 2014. Meski ada pemikiran lain bahwa eksistensi 3 (tiga) Partai di Aceh belum dapat menandingi populeritas 12 Partai Politik, tetapi ketiga Partai Politik di Aceh cukup kuat berpengaruh secara politik bagi masyarakat dan daerah (termasuk di dalamnya Pembangunan).
Salah satu pengaruh tersebut ialah mampu memperkuat, mendesign dan mempengaruhi kebijakan serta arah dari penyelenggaraan pembangunan. Berbeda dari Sulawesi Tengah, porsi peluang politis untuk memperkuat, mendesign serta mempengaruhi kebijakan maupun arah dari penyelenggaraan pembangunan, berada pada posisi mencemaskan!
Pertanyaan penting berikutnya adalah “Apa yang harus diperbuat Sulawesi Tengah ketika berada dalam posisi-posisi mencemaskan itu?”



[1] http://kpu.go.id/index.php?option=com_content&task=view&id=7377&Itemid=244 atau pada http://id.wikipedia.org/wiki/Daftar_partai_politik_di_Indonesia