Beberapa tahun lalu, saya dimintai pendapat dari Koran Republik (online) sehubungan konflik TNI-POLRI.
Dalam wawancara, saya mengemukakan bahwa konflik antara TNI-POLRI
(baca: Tentara Indonesia dan Polisi Indonesia) adalah contoh yang buruk
bagi masyarakat Indonesia. Sepertinya masalah (konflik) TNI - POLRI, tak
kunjung berhenti dan berlanjut pada masa sekarang. "...silahkan
browsing di internet untuk pastikan kebenaran dari pendapat saya, setiap
website kita mudah jumpai kasus pertikaian antara TNI dan POLRI" jawab
saya kepada mahasiswa (24 April 2016).
Kasus ini saya katakan kepada reporter Republik "contoh yang sangat buruk untuk masyarakat".
Pertikaian antar personil Tentara dan personil Polisi di Indonesia,
sudah berlangsung sejak saya kanak-kanak. Ini maksudnya apa? Kok tidak
pernah selesai perkaranya? Itu kejadian tahun 1980an, sekarang ini sudah
tahun 2016 dan atas dasar itu, saya menilai ada sesuatu yang kurang
diperhatikan sehubungan dengan kehidupan sosial Ketentaraan dan
Kepolisian di Indonesia. Hal yang kurang diperhatikan itu, pikir saya
merupakan penyebab ketegangan baik ketegangan dalam kehidupan Tentara
dan ketegangan dalam kehidupan Polisi.
Negara harus lebih fokus memberikan stimulus-stimulus tertentu untuk
para "Pelindung Negara", Tentara dan Polisi tidak hanya diberikan
instruksi khusus yang sifatnya itu "keras", sekali-kali mereka (Tentara
dan Polisi) diberikan ruang dan dijamin Negara untuk mengaktualisasikan
dirinya masing-masing, sehingga mereka bisa rileks. Pekerjaan Tentara
dan pekerjaan Polisi, bukan pekerjaan yang ringan tetapi pekerjaan yang
berat. Dan saya pikir itu yang membentuk perilaku mereka terutama ketika
berelasi dengan individu lain dari korps yang berbeda. Situasi tertentu
misalnya ketika mereka (Tentara atau Polisi), tidak bertugas atau
sedang tidak menangani kasus tertentu, mereka dipastikan menjadi cepat
jenuh dan situasi ini dinilai kurang baik karena pasti dapat memancing
situasi lain yang kurang enak dilihat publik Indonesia.
Apa yang dialami itu, harusnya situasi tersebut diperhatikan dengan
cepat dan sigap. Diperlukan program dan kegiatan yang pas untuk Tentara
dan Polisi yang arahnya itu dapat menjalin hubungan harmonis, menjalin
keakraban antar korps, melepas sementara ketegangan masing-masing korps.
Apakah Negara menyadari itu? Saya pikir ya!
ABRI/ POLRI
Dinamika konflik Tentara dan Polisi dari tahun ke tahun berbeda,
terutama ketika mencermati hubungan Tentara dan Polisi yang masih satu
atap di ABRI (Angkatan Bersenjata Republik Indonesia). Sekarang ABRI
berdiri sendiri dengan elemennya yaitu Tentara Nasional Indonesia (TNI),
sedangkan Polisi menjadi otonom kemudian tergabung pada korps mereka,
POLRI (Kepolisian Republik Indonesia).
Dari patokan tersebut, saya kemudian melihat kembali hubungan Tentara
dengan Polisi bahwa setelah setiap elemen berdiri sendiri-sendiri dengan
kewenangannya yang bersifat otonom, maka muncul dipermukaan kasus-kasus
ketegangan antara Tentara dan Polisi semakin banyak, dan situasi ini
berbeda ketika masih satu atap di ABRI.
Saya menilai bahwa pemisahan tersebut kurang baik, selain menyebabkan
munculnya ketegangan-ketegangan yang disinyalir berasal atau bermula
dari pemisahan ABRI dan POLRI, pemisahan tersebut berpengaruh pada
efesiensi keuangan Negara.
Belanja Negara menjadi berat karena harus membiayai 2 (Dua) korps.
Dilihat dari kualitas pertahanan dan keamanan Negara, maka sudah pasti
akan berpengaruh pada kualitas yang dimaksudkan. Jika ABRI/POLRI menjadi
satu, sudah dipastikan bahwa Kepolisian pasti memiliki keahlian tempur
dan sebaliknya Tentara dapat memiliki keahlian Polisi. Kita akan
memperoleh double power untuk pertahanan dan keamanan Negara.
RADIKALISME, POLISI DAN TENTARA
Radikalisme dalam perjalanan dinamika sejarah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), bermula saat Darul Islam/ Tentara Islam Indonesia (DI/TII) melakukan gerakan-gerakan terencana dan sistematis. Tokoh utama DI/TII adalah Abdul Kahar Muzakar yang bertujuan untuk mendirikan atau membentuk Negara Islam Indonesia (NII). Muzakar adalah anggota TNI (Tentara), berpangkat Letnan Kolonel atau Overste.
Dari era DI/TII, radikalisme bertumbuh seperti jamur terutama menjelang
detik-detik jatuhnya Orde Baru Soeharto. NKRI dinilai kecolongan karena
saat itu kosentrasi Tentara dan Polisi lebih kepada menstabilkan kondisi
Indonesia yang sedang rusuh, atau dikenal dengan Kerusuhan 1998.
Terganggunya stabilitas NKRI juga mengakibatkan kurang dikendalikan
dengan baik situasi daerah-daerah administrasi NKRI misalnya konflik
Poso 1998.
Konflik tersebut merupakan satu-satunya konflik terparah dan terpanjang,
bahkan situasi tahun 2016 masyarakat Poso belum mendapat jaminan
keamanan dan rasa nyaman untuk beraktifitas. Dari rentetan itu,
Indonesia mengalami masalah pembangunan yaitu Radikalisme. Sementara
disisi lain, Tentara dan Polisi diperhadapkan dengan persoalan geografi
(khusus masalah Santoso Terorisme di Poso) yang secara umum wilayah
Indonesia sebagian besar terdiri dari hutan-hutan lebat, pegunungan dan
bukit serta jurang yang tajam, itu memberatkan Tentara dan Polisi
melakukan pengejaran terhadap kelompok terorisme yang bersembunyi atau
bergerilya di hutan-hutan misalnya pemburuan Santoso Terorisme Poso.
Lain sisinya, Tentara dan Polisi kurang dibekali dengan teknologi
militer yang baik. Jika pun ada, teknologinya terbatas dan mahal. Perlu
pendekatan kreatif untuk menghasilkan pendapatan yang menjamin aktifitas
pengadaan teknologi perang atau teknologi militer. Ditambah lagi
situasi sekarang bahwa Tentara dan Polisi, tidak lagi satu atap. Itu
sangat memberatkan. (drtobondo)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar