Menurut penelitian yang dilakukan oleh SurLaLuneFairytales.com,
sumber awal cerita Cinderella justru berasal dari China, ditulis oleh
Tuan Ch’eng-shih di pertengahan abad ke 9 (850-860 M). Pangeran dalam
cerita tersebut dikenal sebagai Yeh-shen. Tidak disebutkan siapa nama
ibu peri dalam cerita versi awal ini. Referensi kisah Cinderella selanjutnya ditulis ulang di abad ke 16
oleh sastrawan Jerman, namun tak diketahui namanya. Dalam tulisan ini
mulai ditambahkan cerita tentang ibu peri, tentang kereta labu dan
binatang-binatang kecil seperti tikus dan tupai atau cerpelai yang
menolong Cinderella. Sampai selanjutnya di tahun 1697, seorang Perancis
yang bernama Charles Perrault menyalin kisah Cinderella ke dalam
bahasanya sendiri, dengan judul Contes de ma Mere L’Oye. Dalam kisah Cinderella sebelumnya, sepatu Cinderella terbuat dari
bulu tupai berwarna putih dan abu-abu. Bahasa Perancis untuk kata bulu
adalah ‘vair’. Charles salah menyalin, bahwa sepatu Cinderella terbuat
dari ‘verre’, yang bunyinya sama dengan ‘vair’, namun berbeda artinya
yaitu ‘kaca’ (Sumber : http://iufos.wordpress.com/2011/04/25/asal-usul-cerita-cinderella/)
Dalam kaitannya dengan saya sendiri., saya merasa tertarik untuk mengangkat Cinderella dalam bahan obrolan Pengamat Sosial. Dimana saya mengangkat hal-hal terkait "Dibalik Cerita Sepatu Cinderella" yang disinkronkan dengan konteks kemasyarakatan di Indonesia.
Masa kecil saya (juga umumnya kita semua), cerita Cinderella terkenal oleh beberapa tekanan sepatu kaca dan pangeran, pesta dansa, peri dan kereta yang disulap dari labu besar dimana para tikus disulap menjadi kuda penarik kereta, dua saudara tiri Cinderella beserta ibu Tiri yang memperlakukannya tidak baik dan penderitaan Cinderella. Jadi tekanan cerita inilah yang akan direfleksikan dengan kondisi kemasyarakatan di Indonesia untuk menggambarkan potret anak muda (khususnya perempuan dan umumnya laki-laki) dan masyarakat secara umum.
Pain for Beauty
Jaman moderen sekarang ini, tak berbeda dari situasi dalam cerita Cinderella. Alasannya disebabkan oleh prinsip "Biar Sakit Asal Cantik" (Pain for Beauty). Dalam cerita asli Cinderella, saat Pangeran mencari pemilik sepatu kaca kemudian berkunjung ke rumah Cinderella, Ibu Tiri Upik Abu berusaha sangat keras agar anak-anaknya terpilih sebagai pemilik sepatu. Puteri yang kakinya kebesaran, jari-jarinya dipotong agar muat. Sementara Puteri yang kakinya kekecilan digilas dengan roda gerobak kuda yang sangat berat. Pada akhirnya, cara tersebut tidak berhasil karena sepatu kaca itu tidak muat untuk kedua kakak beradik itu.. Kemudian, Sepatu Kaca akhirnya dimiliki oleh Cinderella, Cinderella yang muat kakinya di sepatu sehingga Pangeran pun membawanya pergi.
Pangeran adalah simbol dari kemewahan, kemapanan dan kedudukan sosial tertinggi. Itu juga bagian dari simbol kecantikan. Meski pun kecantikan lebih identik pada dunia perempuan. Berkaitan dengan ini, tidak dapat dipungkiri bahwa setiap individu akan berlomba-lomba, meski umumnya ditahu bahwa dalam mencapai suatu kenikmatan atau kecantikan seluruhnya butuh proses termasuk proses berkorban secara material maupun non material. Dibanyak kasus, sekelompok perempuan yang tak tahan dengan kondisi sosial ekonomi harus memilih berpura-pura dan melakoni diri sebagai "tokoh" yang diciptakan mereka sendiri misalnya anak yang berasal dari orang kaya (padahal tidak demikian). Disamping itu, tidak sedikit para perempuan harus memilih jalan sesat misalnya menjajakan diri kepada para lelaki hidung belang. Ada lagi yang harus menjual organ tubuhnya, hanya untuk memenuhi suatu tujuan hidup sesaat. Tentu bisa dibayangkan bagaimana hasil yang akan dituai kemudian?
Dalam konteks kepemimpinan terutama menyangkut seseorang yang menggerakkan roda pemerintahan dimana individu bersangkutan berperan besar untuk mensejahterakan kehidupan banyak orang, seringkali terjadi seseorang hanya menginginkan performance yang baik dan sempurna terlihat dimata dunia misalnya membangun sejumlah gedung tinggi dan gedung tertinggi, banyak memiliki mall atau pertokoan elite, berbagai pemukiman elit marak bertumbuh disuatu kawasan, pertumbuhan ekonomi yang secara kuantitas tidak terwakili dengan kondisi secara kualitas misalnya situasi masyarakat pada berbagai wilayah, pembayaran pajak yang kurang sesuai karena sebagian besar masyarakat kurang merasakan itu bermanfaat, terjepit oleh harga-harga yang tak bisa dikendalikan sehingga menyebabkan masyarakat semakin terjepit pula, minimnya akses untuk hidup lebih baik dan sebagainya yang seluruh itu tidak sesuai dengan kenyataan yang ada. Malahan hal tersebut dipandang sebagai "kompensasi dari pendekatan atau kebijakan tertentu!"
>>> BERSAMBUNG DALAM URAIAN AKAN DATANG!