Perjalanan dan Percakapan Opa Dimba
Tau Beres.
Diskusi Ngkai dengan beberapa pejabat di Poso dan Mori, hanya
mendatangkan stress dan frustrasi, karena kebanyakan dari mereka
berpikiran jangka pendek, berharap dapat sesuatu untuk seketika. Yang
dipikirkan lebih pada keuntungan diri dan keluarganya daripada
kepentingan masyarakat atau publik Poso atau Mori.
Setali tiga
uang atau sama saja, ketika Ngkai bertemu beberapa tokoh masyarakat,
rata-rata mereka mengeluhkan sedikitnya perhatian pemerintah dan masih
sangat berharap dukungan dan pendampingan pemerintah. Bagai balita,
mereka masih menunggu kucuran tangan pemerintah untuk membagikan uang
bantuan. Kecewa juga dengan kenyataan pemikiran begitu, yang belum
beranjak dari mentalitas minta-minta dan selalu merasa tidak berdaya.
Ketika di Tentena, Ngkai berdiskusi dengan beberapa tenaga akedemis
dari perguruan tinggi setempat, salah seorang yang merasa sudah jadi
tokoh dan bergelar akademis di depan dan belakang namanya, malah merasa
tak perlu lagi diberi masukkan. Baginya silahkan saja siapa saja boleh
datang berinvestasi apa saja di bidang perkebunan atau pariwisata,
tambang, tidak persoalan.
Yang penting bagaimana pembagiannya.
Berapa untuk investor, berapa untuk masyarakat serta yang paling
penting, tentu, berapa untuk dia pribadi dan para sahabatnya, yang akan
memediasi proses informasi, perijinan antara perusahaan dengan
pemerintah setempat. Semua disampaikan, tanpa risi, malu serta
dijelaskannya secara pajang lebar dan mendalam sambil tertawa-tawa.
Masya Allah !.
Walau Ngkai mencoba jelaskan dengan pakai contoh
nyata, mengenai masyarakat sekitar perkebunan di beberapa kabupaten di
Kalimantan, yang masyarakat desanya mulai sejahtera, ternyata tidak
mampu mencerahkan para pejabat, tokoh masyarakat dan akademisi.
Kecenderungan untuk TAU BERES, yang penting sekarang ini, tak lagi
menginspirasi untuk sadar dan bersemangat. Preeeet !.
Jika para
tokoh sudah berpola pikiran begitu, gimana pula dengan masyarakat
banyak yang awam. Masyarakat yang sudah terbiasa hidup dalam suasana
subsisten bagai ekonomi ayam, cakar makan, cakar makan, tanpa tabungan
dan investasi masa depan ?. Masyarakat yang hidup dalam pola mie instan,
sulit diajak berpikir jauh kedepan. Maunya apa-apa siap saji, minta
disuapi terus terusan. Tidak perlu berusaha dan kerja keras, cukup
mangap. Ane pura, perapi-perapi wou.
Karenanya, semangat otonom
daerah akan jauh panggang dari ikan. Partisipasi, inspirasi dan swakarsa
masyarakat jangan harap bisa bertumbuh dan menyemangati pengembangan
masyarakat. Tidak akan terjadi proses pemberdayaan masyarakat, malah
masyarakat balik akan tetap diperdaya.
Bila logika Tau Beres
ini benar, maka kita perlu antisipasi dan segera cari jalan keluarnya.
Untuk itu perlu dibereskan kembali dengan pendekatan yang terukur yang
membawa dinamika dan inspirasi. Prilaku sentralistik, struktural,
pendekatan top-down perlu diarahkan ke suasana pelayanan masyarakat yang
de-sentralistik, non struktural serta bottom-up.
Semua aparat
birokrasi harus diisi kembali dengan roh moral yang benar, roh yang
berasal dari visi misi kolektif komunal yang lebih bernuansa masa depan.
Tanggalkan roh jahat yang mengedepankan kepentingan keuntungan pribadi,
tidak punya nurani rasa malu untuk berbuat maksiat.
Juga masyarakat
dipersiapkan secara serius untuk menyongsong masa depannya
masing-masing, sesuai kodrat, potensi dan segala sumberdaya yang
dimilikinya.Tinggalkan mental minta-minta dan merasa tidak berdaya.
Karakter kotor berlogika Tau Beres, jelas tidak akan pernah
memberdayakan masyarakat dan kontra produktif dengan usaha pengembangan
masyarakat untuk hidup mandiri.
Tulisan Dimba Tumimomor di Facebook (11 Juni 2012)