Patende itu disama-artikan dengan kalimat “angka kong banting
(dalam dialek masyarakat umumnya di Sulawesi, artinya Angkat Lalu
Banting)”, jadi bisa diramalkan maksud dari tulisan ini baik arah dan
tekanannya. Kemudian berikutnya, politik, saya tidak perlu lagi
menjelaskan makna atau arti politik itu sendiri.
Singkat, mungkin kita dapat bersepakat bahwa politik adalah cara
mengatur dimana mengatur itu perlu perencanaan, perhitungan dan
pendekatan-pendekatan serta parameter atau ukuran dan paradigma atau
cara pandang. Disisi lain, saya menautkan dua kata menjadi satu makna
yaitu “politik patende”.
Saya sebenarnya enggan untuk membicarakan atau mengangkat issue-issue
tematis misalnya terkait Proses Penetapan Pucuk Pimpinan Sinode GKST
Periode 2012 – 2016 yang sedang (mungkin saja) berjalan. Warga Gereja Kristen Sulawesi Tengah
yang tersebar di luar Pulau Jawa dan Pulau Jawa, mereka yang secara
genelogis lahir dan mendapat pelayanan dari GKST, berpartisipasi secara
penuh serta merefleksikan diri dengan berbagai cara untuk menyambut hari
bahagia itu baik persidangan Sinode GKST atau bertepatan dengan Proses
Penetapan Pucuk Pimpinan lingkup GKST.
Mmmmmmm….
Beberapa warga juga menginformasikan secara tertulis dan lisan untuk
sekian banyak tentang sikap beberapa tokoh gereja yang menolak untuk
dicalonkan menjadi Ketua Umum atau menduduki pucuk pimpinan Sinode GKST
periode 2012-2016. Tetapi menariknya disini ialah bahwa sebelum proses
penetapan atau pemilihan, sudah terjadi jauh hari negosiasi yang
sebenarnya itu lebih identik dalam dunia sosial dan politik (lebih
condong ke dunia politik jika itu dilakukan dengan pola dan berbagai
bentuk komunikasi, orientasi yang bersifat politis, kontrak-kontrak
tertentu yang sudah tentu dilakukan oleh seorang aktor, tawar menawar
bargaining politik yang memperkuat suatu kontrak),- persoalannya itu
lebih besar jika dikaitkan dengan dunia politik. Maka racun duniawi
sudah tentu merasuk dimana gereja dan elit disama-sederajatkan dengan
elit-elit atau organisasi politik demikian juga seluruh orientasinya.
Tidak mengherankan apabila beberapa orang telah memberikan warning
sosial terlebih dahulu karena adanya pandangan yang sedemikian beralasan
dan sedemikian kuat antara lain pandangan analitis praktis dari Dimba
Tumimomor (ngkai, dalam dialek masyarakat Poso artinya Opa atau Mbah pada
masyarakat Jawa) termasuk saya dan sebagian besar orang lainnya (warga
Gereja juga warga Non Gereja yang berasal dari berbagai kelompok agama
yang ada).
Kemudian, tidak mengherankan juga apabila sudah ada terlebih dahulu kongko-kongko,
pembicaraan seputar kontrak dan pendekatan yang akhirnya sudah
menghasilkan dua versi pilihan pucuk pimpinan Sinode GKST periode
2012-2016. Sangat dilematiskah? Sedemikian dilematiskah? Jawabannya YA!
Tokoh-tokoh Gereja dilingkup GKST yang menolak untuk dicalonkan pada
pucuk pimpinan tentu memiliki alasan yang besar dan mendasar juga sudah
mengenal baik metode politis yang kini marak menjangkiti tradisi gereja
dalam pemilihan pucuk pimpinan… Wahhhh dan WOW, juga patut untuk
mendorong saya mengatakan “WOW GITU?”
Saya kemudian mengingat dan mencari serta mencoba menayangkan
beberapa data penelitian disertasi saya tentang DESA METRO yang secara
umum itu sederhana saja hanya menyoroti seputar interaksi semata-mata
bahwa 60 tokoh agama mengatakan kepada saya (Adriani Galry Adoniram)
“saya tidak mau dipilih karena saya sudah tau saya tidak akan dipilih
sebab sudah ada kesepakatan dibelakang layar untuk pemimpin akan datang
di Poso. Masyarakat kita (Poso) umumnya begitu juga ini yang saya tau
(mungkin pandangan saya apa adanya karena pendidikan saya terbatas)
karakter masyarakat Indonesia! Disini banyak yang suka jadi kayu basah!”
Pertanyaan berikut ialah mengapa Pdt. DR. Yuberlian Padele harus
diposisikan pada Ketua I untuk versi seleksi yang disebutkan dalam
rubrik “Parata Ndaya” milik Dimba Tumimomor yang dkirim oleh seorang member group
tersebut, Rohani Rangga, bukankah secara populasi perempuan di GKST
jauh lebih banyak? Benarkah gereja masih mempraktekkan status QUO dimana
kedudukan laki-laki jauh lebih tinggi pengaruhnya daripada kedudukan
perempuan? Apakah sejarah kepemimpinan gereja dilingkungan GKST hanya
berhenti sampai kepada Pendeta Agustina Lumentut sebagai tokoh pertama
perempuan yang memegang jabatan pimpinan (Ketua Umum Sinode GKST)?
Mengapa harus ada suatu kalimat tertentu yang bisa ditafsir dan
memunculkan banyak pandangan beralasan bahwa “Pdt. DR. Yuberlian Padele baru pulang studi cukup lama, jadi butuh orientasi”
Siapakah yang dibelakang layar mencoba untuk memproduksi kemudian hasil
kreasi tersebut menjadi opini atau pandangan banyak orang termasuk
informasi yang ditulis oleh Rohani Rangga? (Dalam kasus ini yang menarik
bagi saya terletak pada seseorang yang memproduksi wacana tersebut,
bagian ini sudah menjadi baku dalam pendekatan strategis dari politik
wacana., sehingga hasilnya ialah pembentukan opini public terkait aktor
yang dicalonkan. Dampaknya adalah posisi politik melemah”
Prinsip saya, siapa saja saya support untuk menduduki pucuk pimpinan sinode GKST tetapi prosesnya jangan dicampur-adukan
seperti orang membuat kue atau bangunan! Semakin banyak campuran akan
sulit untuk membongkar, bangunan yang kokoh belum tentu bangunan yang
baik sebab kekokohan cenderung bagian dari suatu sikap yang sukar
menerima kritikan, egois, sangat primordial, mungkin saja barbarian atau
sangat agresif. Bangunan yang bagus adalah bangunan yang
standar-standar saja dan mudah untuk direnovasi. Sementara dalam kasus
pembuatan kue, jika kue itu terlalu banyak campurannya maka kue akan
terasa hambar, tidak enak untuk dimakan bahkan tidak enak untuk dilihat.