Anak Kampus CPC - Support us

Kamis, 22 November 2012

Krisis Identitas Kewarganegaraan dan Integrasi Yang Semu

Baru-baru ini saya berdiskusi dengan beberapa orang di sekitar tempat tinggal. Diskusi kami dimulai dari sikap atau penilaian seputar Pemilihan Presiden Indonesia, tahun akan datang, tahun 2014. Saya terkejut juga merasa itu masuk akal dan wajar serta sangat beralasan apabila 40 orang menilai bahwa "mereka lebih baik memilih Ketua RT atau Ketua RW, sebab pemimpin itu bersentuhan langsung dengan mereka dan bisa memenuhi kebutuhan mereka"

Sikap ini mengandung makna yang dalam, pertama hal tersebut menggambarkan adanya krisis kepercayaan terhadap kepemimpinan dan kedua hal ini tentu saja menggambarkan krisis identitas kewarganegaraan. Hal serupa juga ternyata terjadi pada berbagai diskusi group di salah satu jejaring sosial., tetapi berbeda konteks! Ketika benar kita mengalami krisis identitas kewarganegaraan sebagai bangsa Indonesia yang satu dan utuh, sisi lain tanpa disadari kita lebih merasakan sebagai bangsa yang terikat dan terintegrasi dengan bangsa-bangsa lain misalnya menyangkut prahara di Gaza, Palestina! Saya dan sekian banyak orang, memilih untuk setuju pada gerakan Save Palestina dan Save for Peace Palestina - Israel. Ini satu langkah yang besar untuk menjadi bangsa yang utuh! Disamping itu saya memahami bahwa ada beberapa hal yang dapat dijadikan bahan luar biasa untuk memandang masyarakat juga menyangkut perubahan-perubahan yang bersifat kontekstual :
  1. Ditengah krisis identitas kewarganegaraan, ternyata secara tidak langsung telah terjadi proses integrasi kehidupan ke arah yang lebih besar. Dimana hal tersebut mungkin saja mempengaruhi terjadinya krisis identitas kewarganegaraan.
  2. Kekecewaan terhadap pola kepemimpinan, manajemen dalam membawa negara dan sebagainya., merupakan aspek pengaruh yang besar untuk mendorong seseorang memilih sesuatu yang dirasakan langsung bersentuhan dengan kebutuhannya atau setidaknya dapat memberikan dirinya jaminan yang secara kontekstual benar-benar terjadi. Selain itu, kekecewaaan ini kemudian dipandang sebagai awal dari dorongan seseorang atau sekelompok orang melembagakan dirinya (integrasi) dalam kesatuan yang lebih besar bertujuan untuk berusaha mencegah jangan terjadi lagi kegagalan yang sama seperti dialaminya pada negara masing-masing. Secara umum disini, setiap individu atau kelompok tertentu tidak menginginkan hal terjelek yang terjadi di negaranya berlaku pada negara lain. Dimana sikap yang ditonjolkan adalah "lebih baik saya yang hancur dan kehancuran yang saya alami adalah pelajaran bagi orang lain sehingga setidaknya saya dapat memberikan pelajaran tersebut bagi yang lain dan yang lain itu bisa lebih baik dari saya sendiri".
Meski demikian benar terjadi, tetapi sayangnya dalam praktik masih diragukan. Mengapa? Sebagai contoh, ketika Rhoma Irama memiliki hasrat untuk menjadi Presiden Indonesia tahun 2014, hasrat tersebut dijadikan bahan lelucon konsumsi publik. Contoh lainnya., ditengah pembentukan totalitas kehidupan yang terintegrasi secara utuh sebagai masyarakat global., muncul bersamaan aksi-aksi yang dianggap bagian dari penyimpangan dan kekeliruan terhadap totalitas itu sendiri seperti menghancurkan atau merusak "simbol-simbol" yang dinilai identik dengan otoritas kekuataan tertentu. Seharusnya itu tidak perlu dilakukan sebab kita sendiri yang memutuskan untuk hidup senasib dan sebangsa! Apakah hal ini dilakukan karena dorongan rasional atau dorongan emosional?

Saya sendiri masih perlu mengamati!

Selamat pagi, Indonesia...............